Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Para tokoh pergerakan dari berbagai aliran dan agama sebelum kemerdekaan dulu seringkali duduk bersama untuk berembug membicarakan berbagai masalah bangsa.
Di rumah Ki Hadjar Dewantara setiap bulan pada malam Rabu wage, misalnya, bertepatan dengan hari lahir Diponegoro dan hari jadi Taman Siswa selalu diadakan pertemuan para tokoh politik dan pemuda untuk membahas masalah-masalah penting kebangsaan.
Dari golongan muda hadir Ali Sastroamidjojo, Soepomo, Sukiman Wirdjosandjojo, dan lainnya. Sedangkan dari golongan tua antara lain Dr Radjiman Wedyodiningrat.
Tradisi serupa kala itu juga berlangsung di kalangan NU (Nahdlatul Ulama).
Suatu hari di tahun 1940-an, para kiai NU berkumpul di Surabaya untuk melakukan semacam forecasting terhadap gejolak zaman saat itu yang sedang dilanda oleh Perang Dunia Kedua.
Jepang merajai Asia Timur Raya dan tak lama lagi akan menduduki Indonesia.
Dalam forecasting itu misalnya terbetik satu pembicaraan penting, yakni siapa figur yang pantas didukung untuk menjadi pimpinan nasional, apabila gejolak perang berimplikasi terhadap kedudukan Indonesia yang ingin merdeka.
Para kiai terpandang itu kemudian melakukan semacam “konvensi”, yang dipimpin oleh Kiai Mahfudz Shiddiq, seorang alumni Mekkah terkemuka, ahli debat dan jago pidato yang pernah menjadi Ketua Nahdlatul Oelama, dan ditawan Belanda bersama KH Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur.
Para kiai terhormat tersebut memilih nama-nama calon pemimpin nasional yang berasal dari kalangan pergerakan.
Dari sebelas kiai dalam “konvensi” itu, 10 memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta.
Inilah sekelumit contoh bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar berperan penting dalam kemerdekaan, dengan esensi membebaskan bangsa dari ketidakadilan dan berbagai bentuk ketertindasan, yang intinya pula peran penting itu masih sangat relevan untuk dijalankan oleh NU saat ini, karena ketidakadilan dan berbagai ketertindasan masih terus terjadi.
Nahdlatul Ulama saat itu menjalankan praktek politik tingkat tinggi, selain dikenal pula dengan Resolusi Jihad-nya yang sangat patriotik.
“Karena itu NU diharapkan tetap teguh memperjuangkan cita-cita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan untuk kesejahteraan rakyat,” tegas tokoh nasional Dr Rizal Ramli, yang juga Ketua Dewan Pakar Komite Khittah NU 1926, periode 2021-2026.
Ekonom pro kerakyatan yang menaruh kepedulian kepada masyarakat Indonesia lapisan bawah, yang mayoritas merupakan kaum Nahdliyin ini, menyatakan dukungan kepada KH As’ad Said Ali untuk memimpin PBNU lima tahun mendatang.
Menurutnya, pemilihan Ketua Umum PBNU adalah momentum penting, karena peran besar NU dalam sejarah Indonesia.
Rizal Ramli berpendapat, kelak ketua umum yang baru harus sanggup membawa NU untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan, kerakyatan, dan kebangsaan. Selain itu tidak boleh sekadar mengejar atau menjadi bagian dari kekuasaan belaka.
Pimpinan NU ke depan, menurutnya, harus dapat menjadikan organisasi sebagai pusat pengabdian, pusat amal dan pusat mengembangkan potensi dan kesejahteraan umat.
Dalam konteks inilah Rizal Ramli menilai KH As’ad Said Ali yang merupakan Wakil Ketua Umum PBNU periode 2010-2015 layak memimpin NU lima tahun mendatang.
“Kiai As’ad memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas di pemerintahan dan tugas-tugas internasional,” tandas Rizal Ramli.
Selain itu KH As’ad Said Ali yang merupakan alumni Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogjakarta, dan alumni jurusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, adalah penanggung jawab kaderisasi di PBNU. Dengan contoh rekam jejak ini Rizal Ramli yakin KH As’ad Said Ali mampu memperbarui Khittah NU 1926.
[***]