KASUS Novel Baswedan sudah berjalan hampir mendekati bulan kelima. Tapi, sampai sekarang belum ada titik terang akan terungkap.
Kacamata masyarakat awam menilai, kasus ini adalah kasus kecil yang mudah diungkap dan bisa cepat diproses hukum. Ternyata susah diungkap, kenapa? Ada dua alasan pokok.
Pertama, karena memang asli pelik dan sulit, disebabkan pelaku ahli/profesional dan kurang bukti maupun saksi, sehingga polisi tak mampu mengungkap. Dan yang kedua, polisi tidak ada niat mengungkap, karena disinyalir akan berdampak pada institusinya sendiri.
Alasan pertama, logikanya bertolak belakang dengan profesionalitas polisi Indonesia saat kini yang dikenal tanggap mengungkap berbagai kasus kejahatan besar dan canggih.
Selama ini kasus pembunuhan, perampokan, penculikan, korupsi, penyelundupan, narkoba, serta kejahatan kakap dan secanggih apapun, cepat terungkap. Bahkan ekstremnya, kejahatan sekelas terorisme yang dilakukan oleh orang profesional, rahasia, terlatih, disiplin tinggi, dan militan, cenderung mudah diungkap.
Fakta, tidak perlu berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulan-bulan, cukup hitungan jam bisa terbongkar dan terurai lengkap dengan gamblang, siapa pengantin, pelaku, perakit, pembantu, pemasok, aliran dana, dan aktor intelektualnya.
Tak jarang akibat sukses tersebut, sering mendapat pujian di luar negeri, khususnya negara yang akrab bermain dan menuduh teroris-terorisan, seperti diungkap mantan agen CIA Snowden yang sekarang tinggal di Rusia baru-baru ini.
Di mata Amerika dan sekutunya, polisi Indonesia layak mendapat apresiasi bukan lagi satu jempol, tapi dua jempol, karena dianggap jagoan dalam mengungkap kejahatan besar dan canggih seperti terorisme, narkoba, korupsi, dan kejahatan besar lainnya. Bravo polisi Indonesia.
Alasan kedua, indikasi ke arah sana terlihat tatkala pejabat tinggi polisi justru mengaitkan dengan yang tidak masuk akal, seperti kegiatan istrinya dalam berdagang.
Dalih dan alasan mementahkan alibi begitu terasa dan upaya mengungkapkan kasus semakin hambar. Tidak menjadi prioritas penuntasan, karena dianggap kasus kriminal biasa saja oleh penegak hukum negeri ini. Sehingga, tak mendapat respons istimewa dari penguasa negeri ini.
Namun, atmosfir proses hukum sedikit berubah menjadi daya tarik presiden dan petinggi polisi, setelah Novel diwawancarai Najwa di Singapura, kemudian disiarkan Metro TV.
Belakangan, Najwa pun kena getah, sehingga ditendang dari Metro TV, karena dianggap terlalu vulgar dan berani menampilkan kepada khalayak.
Ini memang kasus besar dan menggigit pemberitaan, apalagi ada pernyataan Novel yang remang-remang menjurus kepada petinggi polisi Indonesia.
Berita bergulir semakin ramai dan menjadi bahan pembicaraan di warung kopi, mahasiswa, karyawan, maupun aktivis antikorupsi di Indonesia.
Sayang, seperti yang sudah-sudah, meski Presiden Jokowi membuat pernyataan agar segera menuntaskan masalah Novel, tapi setelah beberapa hari heboh dan menasional, ternyata akhirnya meredup sendiri tanpa ada tanda-tanda mau diproses tuntas. Kata pepatah, “panas-panas tahi ayam”, cuma ramai diawal tapi sepi kemudian.
Memang kasus Novel sangat menarik, karena banyak meninggalkan cerita dari mulut ke mulut dan gosip yang menuju arah kepada petinggi polisi sendiri, meski belum dibuktikan sampai kini.
Tapi, keyakinan masyarakat semakin kuat ada keterlibatan oknum polisi, setelah Novel bersikeras meminta diperiksa tim independen, bukan hanya tim polisi semata.
Ini pertanda Novel tidak mau berbicara kalau cuma di dalam internal polisi yang nantinya sirna sia-sia, tanpa hasil nyata. Novel ingin ada transparansi dan jaminan akan ada proses yang fair dan adil.
Alasan Novel masuk akal, karena tim independen akan netral dan berimbang serta akan sulit dikooptasi atau diintervensi sesuai tuntutan hukum yang berlaku. Tapi, sekali lagi disayangkan, faktanya permohonan itu, yang juga ditunggu-tunggu pecinta keadilan, sampai kini belum jadi kenyataan.
Berkaca prestasi hebat polisi selama ini, ternyata disayangkan banyak pula menyimpan sisi keanehan yang betul-betul membuat skeptis masyarakat Indonesia dalam memerangi kejahatan, terutama tatkala dihadapkan pada kasus Novel Baswedan.
Kasus penyiraman air keras kepada Novel secara “akal sehat” cenderung akan mudah diungkap, kenyataannya susah diungkap. Sejak 11 April 2017 sampai kini belum ada titik terang. Timbul keanehan yang luar biasa, sehingga terbalik 180 derajat dari prestasi dan puja-puji di mata Amerika dan kelompoknya.
Bagaimana tidak aneh, pelaku penyiraman terindikasi tidak profesional (amatiran) yang banyak meninggalkan jejak dan bahan keterangan yang pasti bisa digali, barang bukti yang ada juga cukup lumayan (motor, CCTV, dsb), terduga pelaku ada yang pernah ditangkap, meski kemudian dilepaskan lagi karena tak terbukti.
Akibatnya, sampai kini pengungkapan kasus Novel skor nol besar. Ada apa?
Bukan rahasia lagi, Novel adalah sosok penyidik KPK yang berani secara lahir batin menegakkan hukum dan keadilan serta berani menerobos sekat-sekat ketidaklaziman. Novel berani membongkar dugaan kebusukan di lingkungan polisi, yang selama ini haram diungkit, apalagi oleh kalangan polisi sendiri.
Sebagai pengingat, cermati kasus Komjen (Pol) Soesno Duadji dan Kombes (Pol) Frans Loemao, yang mau membongkar sisi gelap ulah korupsi polisi, keduanya berakhir di hotel prodeo.
Begitu juga kasus pembacokan aktivis antikorupsi Tama Langkun yang getol menyisir rekening gendut polisi, berakhir di RS dan sampai sekarang tak jelas rimba kasusnya.
Oleh karena itu, tak aneh lagi, bila Novel selain dicari-cari kesalahannya, bahkan berani mengkriminalisasi Novel yang kemudian dipertontonkan kepada khalayak sebagai bagian cuci otak masyarakat, kalau Novel banyak kesalahan dan tak pantas sebagai algojo di KPK.
Tentu sikap keberanian para pecinta keadilan ini, khususnya Novel bagi negara dan kacamata penegakan hukum, adalah sesuatu yang luar biasa dan menjadi motivasi serta aset langka yang jarang ditemui di belantara anomali hukum Indonesia.
Ini harus mendapat tempat istimewa, dijaga staminanya dan harus dilindungi, karena terbukti konsisten dalam memerangi kejahatan korupsi di tanah air, di mana menerapkan praktik “siapapun yang melanggar hukum harus diproses secara hukum”, tanpa kecuali. Polisi sekalipun.
Tentu saja bagi kalangan polisi sendiri, tindakan ini sebagai ketidaklaziman yang sulit diterima, karena akan merusak “kesaktian” kongkalikong oknum pejabat yang sudah terbangun lama dari masa ke masa.
Akibatnya, tidak aneh jika Novel harus diberi pelajaran shock therapy, agar geraknya terhenti (setop total) dan tak berkembang menular kepada yang lain.
Di samping itu, akan tampak dampak ciut nyali para penegak hukum yang bermental setengah-setengah, sehingga akan balik kanan untuk cari selamat karier ataupun jiwanya.
Bagi kalangan pejabat berkelakuan penjahat atau pengusaha yang berselingkuh dengan penguasa, tentu tidak suka dengan gerak Novel yang sewaktu-waktu bisa menyikat dirinya.
Sungguh miris, penegak hukum yang berjalan lurus, benar, dan on the track, harus mengalami nasib pilu, di mana sekarang mata kiri total tak melihat. Sedangkan mata kanan masih rusak berat, tanpa perlindungan penuh dari negara.
Terbayangkah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, apabila tidak ada sosok seperti Novel? Bisa dipastikan aksi korupsi semakin berjemaah dan lebih marak lagi, karena semua penegak hukum ketakutan dan tiarap cari selamat jabatan dan selamat nyawa.
Sementara, pejabat bejat, pengusaha serakah, dan penjahat laknat, berselingkuh korupsi uang rakyat sambil menari di atas kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesia.
Bagi orang Indonesia beragama, rasional, dan bermental waras, bila melihat sosok Novel yang berani korbankan apa saja demi kebenaran dan tegaknya hukum, seharusnya 100 persen dilindungi jiwa raga dan dijaga kehormatannya. Bukan sebaliknya, terabaikan dan pemerintah baru bereaksi tergopoh-gopoh saat Novel sudah menjadi korban dan rakyat gelisah.
Kini yang dibutuhkan adalah usaha nyata untuk mengungkapnya, bukan cuma lip service demi menyenangkan sesaat rakyat dan kelompok antikorupsi. Kalau cuma pernyataan tanpa bukti nyata, akan buang-buang waktu dan menambah jengkel rakyat.
Kondisi ini tentu membuat tersenyum penjahat dan pejabat laknat, karena bisa membungkam penegak hukum yang selama ini ditakutkannya.
Melihat sosok Novel yang agamis dan tegas dalam hukum, kami yakin yang bersangkutan keberatan disebut pejuang kebenaran dan keadilan, tapi bagi masyarakat yang cinta hukum dan keadilan serta antikorupsi, tampaknya setuju menyebut Novel sebagai pejuang kebenaran hukum dan bukan pengkhianat bangsa.
Terbukti, sikap, pikiran, dan tindakan Novel, secara intens berani secara nyata memberantas korupsi meski di bawah teror, tekanan, dan ancaman.
Oleh karena itu, sepantasnya masyarakat yang antikorupsi di Indonesia berterima kasih kepada Novel yang peduli dan berani memerangi kejahatan korupsi di tengah gurita mafia korupsi.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya bersandiwara? Rakyat Indonesia pasti setuju bukan Novel, tapi mereka yang membenci Novel. (*)
Oleh Dedi Noah, pemerhati sosial dan kriminal