Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Sejak awal, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU No 11/2020) sarat masalah, melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan dan konstitusi. UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun ditambah embel-embel bersyarat agar tidak serta merta dibatalkan.
MK di masa pemerintahan Jokowi memang menjadi lembaga bermasalah besar, digunakan untuk merusak bangsa ini. Banyak bukti menunjukkan MK dipakai untuk melanggengkan pelanggaran konstitusi pemerintahan Jokowi.
Bukannya UU Cipta Kerja yang inkonstitusional tersebut dicabut, tetapi Jokowi malah menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja yang isinya sama dengan yang sebelumnya. Penetapan PERPPU Cipta Kerja ini bahkan lebih bermasalah.
Karena, PERPPU hanya dapat ditetapkan kalau ada kegentingan memaksa. Tetapi, pemerintahan Jokowi memanipulasi faktor kegentingan memaksa dengan alasan akan ada krisis ekonomi global, yang jelas-jelas hanya rekayasa saja. Oleh karena itu, penetapan PERPPU Cipta Kerja melanggar prasyarat kegentingan memaksa.
Alasannya, pertama, tidak ada kriteria jelas apa yang dimaksud “krisis ekonomi global”: apakah pertumbuhan ekonomi dunia turun 50 persen, atau bahkan negatif. Karena tidak ada kriteria jelas, maka pemerintah dapat sewenang-wenang menetapkan PERPPU, dengan alasan krisis ekonomi global. Dan ini yang dilakukan pemerintahan Jokowi.
Kedua, faktanya memang tidak ada krisis ekonomi global sepanjang tahun 2023. Dalam hal ini, artinya, Jokowi telah berbohong kepada rakyat.
Karena, ketiga, faktor kegentingan memaksa dalam menetapkan PERPPU harus sedang terjadi, bukan proyeksi atau dugaan. Oleh karena itu, PERPPU (UU) Cipta Kerja cacat hukum dan tidak sah.
Selain itu, PERPPU (UU) Cipta Kerja terlihat jelas dibuat dengan motif “niat jahat” untuk kepentingan proyek kroninya melalui praktek kolusi dan nepotisme yang merugikan masyarakat luas dan perekonomian negara.
Salah satu “niat Jahat” dalam PERPPU (UU) Cipta Kerja terkait Proyek Strategis Nasional. Lagi-lagi, PERPPU (UU) Cipta Kerja tidak menjelaskan apa kriteria Proyek Strategis Nasional: apa yang dimaksud “Strategis”, dan apa yang dimaksud “Nasional”. Bahkan di dalam Pasal 1, Ketentuan Umum, PERPPU (UU) Cipta Kerja tidak dijelaskan definisi Proyek Strategis Nasional.
Akibatnya, Jokowi dapat sewenang-wenang menetapkan sebuah proyek menjadi Proyek Strategis Nasional. Karena itu, tidak heran Jokowi sudah menetapkan lebih dari 200 Proyek Strategis Nasional sejak 2016. Jumlah proyek sebanyak itu tentu saja tidak bisa lagi dinamakan Strategis Nasional.
Sebaliknya, status Proyek Strategis Nasional digunakan untuk mengusir penduduk setempat secara paksa, untuk melanggengkan proyek oligarki, seperti yang terjadi di daerah pertambangan (nikel, etc), desa Wadas, Kepulauan Rempang, dan sekarang di PIK 2 dan BSD.
Rekayasa jumlah Proyek Strategis Nasional yang sangat banyak tersebut juga terbukti tidak membuat pertumbuhan ekonomi meroket, atau tingkat kemiskinan berkurang drastis. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan stagnan sejak Jokowi berkuasa.
Niat jahat selanjutnya, PERPPU (UU) Cipta Kerja hanya memberi definisi, Proyek Strategis Nasional adalah proyek yang bersifat Strategis. Tentu saja ini bukan kriteria. Tetapi ungkapan kalimat kosong tanpa makna. Akibatnya, penetapan Proyek Strategis Nasional menjadi sewenang-wenang.
Hal ini tercermin dari, misalnya, Pasal 31 PERPPU (UU) Cipta Kerja. Pasal 31 ayat (1) melarang alih fungsi lahan pertanian: Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
Tetapi, ayat (2) kemudian memberi pengecualian: untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budi daya Pertanian dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian terjadi penyelundupan hukum di ayat (3), di mana prasyarat alih fungsi lahan direduksi hanya untuk kepentingan umum, tidak untuk Proyek Strategis Nasional: Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
a. dilakukan kajian strategis;
b. disusun rencana alih fungsi Lahan;
c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan/atau
d. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian.
Ayat (3) di atas jelas dibuat dengan motif niat jahat, dengan menghilangkan kalimat “dan/atau proyek strategis nasional”, agar tidak perlu dilakukan kajian strategis apapun untuk menetapkan Proyek Strategis Nasional: cukup dengan pernyataan Jokowi (baca: peraturan presiden) saja.
Ayat (3) seharusnya berbunyi: Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) …
Niat jahat dan penyelundupan hukum ini bukan khilaf, bukan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi dilakukan secara sadar dan sistematis. Karena penghilangan kalimat “dan/atau proyek strategis nasional” juga terjadi untuk alih fungsi lahan lainnya, seperti lahan pertanian pangan.
Kesengajaan ini juga tercermin dari ayat selanjutnya, ayat (4), di mana kalimat “dan/atau proyek strategis nasional” muncul kembali.
Uraian di atas menjadi bukti tidak terbantahkan, bahwa ketentuan ayat (3) memang dirancang dengan niat jahat untuk menghilangkan kewajiban kajian strategis dalam penetapan proyek strategis nasional.
Akan tetapi, meskipun kalimat “dan/atau proyek strategis nasional” dihilangkan di ayat (3), tidak berarti dapat menghilangkan kewajiban “kajian strategis” untuk Proyek Strategis Nasional. Alasannya, Proyek Strategis Nasional pasti untuk kepentingan nasional, maka secara otomatis juga untuk kepentingan umum, sehingga wajib mempunyai kajian strategis.
Oleh karena itu, Proyek Strategis Nasional yang jumlahnya lebih dari 200 itu, termasuk PIK 2 dan BSD, yang ditetapkan tanpa kajian strategis, melanggar undang-undang, dan karena itu tidak sah dan wajib batal demi hukum.
Kemudian, yang lebih parah lagi, Pasal 31 ayat (3) huruf c secara eksplisit bermakna, status Proyek Strategis Nasional dapat digunakan untuk mengusir penduduk setempat: dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik;
Pasal ini secara telanjang mata melanggar konstitusi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) tentang hak asasi manusia, bahwa:
(1) Setiap orang berhak …. mempunyai tempat tinggal; dan
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Bersambung ke Bagian 2.
[***]