KedaiPena.Com- Sebagian Kepala Desa atau Kades bersama politikus PDI Perjuangan (PDI-P) Budiman Sudjatmiko disebut akan menjadi perusak demokrasi jika memaksakan perpanjangan masa jabatan pimpinan desa selama 9 tahun.
Bahkan, dugaan dorongan usulan perpanjangan masa jabatan kades menguat ke arah untuk memperlancar upaya perpanjang periode kekuasaan Presiden Jokowi jika memang terus dipaksakan.
Demikian disampaikan Analis Sosial Politik UNJ Ubedilah Badrun merespons mencuatnya usulan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun. Kabarnya, Presiden Jokowi turut menyetujui usulan perpanjangan masa jabatan kades itu.
“Kalau sebagian Kepala Desa dan Budiman Soedjatmiko masih ngotot terus perpanjang jabatan kades jadi 9 tahun dan disetujui oleh Presiden pula maka ini tanda-tanda mereka perusak demokrasi. Jangan-jangan ada benarnya kalau usulan perpanjang periode kepala desa itu cara Jokowi untuk untuk juga memperlancar upaya perpanjang periode kekuasaanya. Ini tanda bahaya demokrasi,” papar Ubed, Rabu,(25/1/2023).
Ubed memaparkan, bahwa dalam perpanjangan masa jabatan 9 tahun hanya akan memberikan keuntungan kepada para kades. Ubed menegaskan, bahwa kades tersebut nantinya akan mendapat banyak keuntungan seperti hak hingga akses.
“Jika masa jabatan kades 9 tahun yang mendapat keuntungan hanya kepala Desanya karena kepala Desa mendapat banyak hak, otoritas, dan akses,” imbuh Ubed.
Sementara, Ubed menjabarkan, bahwa rakyat di Desa akan mengalami kerugian lantaran kepemimpinan akan sangat lambat. Ubed menilai, anak- anak muda di Desa yang punya visi besar membangun desa akan terhambat menjadi kepala desa.
“Setidaknya lama menunggu giliran menjadi kepala desa. Apalagi jika kepala desa incumbent terpilih lagi selama tiga kali pemilihan jadi bisa 27 tahun jadi kepala desa. Bisa sampai meninggal statusnya masih menjabat kepala Desa,” jelas Ubed.
“Nah generasi muda kehilangan kesempatan minimal 9 tahun menunggu. Desa akhirnya terus menerus dipimpin generasi tua yang energi perubahanya rendah bahkan semakin hilang. Akhirnya rakyat di Desa yang dirugikan karena minimnya gagasan-gagasan baru,” tambah Aktivis FKSJM ini.
Tak hanya itu, Ubed menambahkan, bahwa usulan perpanjangan masa jabatan kades ini secara politik memungkinkan dugaan ada semacam transaksi hasrat kuasa antara kepala desa dengan elit tertentu. Pasalnya, keduanya sama-sama ingin perpanjang periode, dan karenanya bisa saling intervensi.
“Misalnya dalam bentuk memberikan dukungan terbuka secara tertulis maupun kekuatan masa dari kepala desa. Misalnya memberikan dukungan perpanjang periode kekuasaan Jokowi atau mendukung Capres yang didukung Jokowi. Ini demokrasi dalam bahaya karena sebagian biaya kepala desa itu dari APBN dan APBD,” tegas Ubed.
Ubed menerangkan, dengan menggunakan dana rakyat dalam hal ini APBN/APBD untuk memberikan dukungan politik juga patit diduga semacam transaksi politik antara kades dengan Presiden.
“Kades minta dukungan Presiden untuk perpanjang masa jabatan dan mungkin juga Presiden minta dukungan kades untuk agenda politiknya. Padahal fungsi kades itu memimpin desa untuk membangun desa tidak untuk dukung mendukung kontestasi pilpres atau pileg,” papar Ubed.
Ubed melanjutkan, bahwa secara umum budaya politik di Indonesia masih di dominasi oleh budaya politik parokial dan budaya politik kaula.
Ubed mengungkapkan, dengan budaya politik seperti itu peran kepala desa masih cukup dominan untuk melakukan intervensi politik kepada masyarakatnya dengan berbagai cara.
“Sementara Budaya politik partisipan (participant political culture) yang masyarakatnya rasional dan kritis di Indonesia terutama dipedesaan masih rendah,” papar Ubed.
Ubed menegaskan, disaat yang sama posisi Presiden saat ini didukung lebih dari 80% kursi parlemen.
Dalam kondisi seperti itu intervensi Presiden untuk mendukung tuntutan kepala desa itu bisa membuat parlemen untuk merivisi pasal 39 UU no 6 tahun 2014 tentang Desa.
“Pasal 39 itu tentang masa jabatan Kepala Desa yang 6 tahun. Jika Presiden lakukan hal itu merubah 6 tahun menjadi 9 tahun melalui DPR, berarti Presiden telah turut merusak demokrasi. Karena sirkulasi kekuasaan di tingkat desa tidak diberi ruang bagi tumbuh dan sehatnya demokrasi. Ini bahaya bisa masuk kategori autocratic legslism,” tandasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena