PENANGANAN kerusuhan Papua sering dibandingkan dengan penanganan “kerusuhan” di depan Bawaslu 21-22 Mei yang lalu. Dengan nada sinis publik melihat “kegarangan” penanganan peristiwa Bawaslu dan “kelembekan” di Papua.
Kecaman ditanggapi “biasa-biasa” saja seolah masalah Papua “ecek-ecek” padahal efek cukup riskan, yakni pemisahan negara.
Brimob dikirim 300 saja sedang ribuan untuk kasus Bawaslu. Presiden masih tertawa tawa nonton pertunjukan wayang kulit. Bersepeda santai dan membagi bagi sertifikat.
Korban tewas sipil dan aparat di Papua sudah mencapai hampir 200 orang. Belum bangunan dan pasar yang dibakar. Bintang kejora berkibar, merah putih “terkapar”. Sungguh memprihatinkan.
Ada berapa penilaian terhadap Presiden yang masih santai menonton wayang kulit dan tertawa melihat lawakan Kirun di saat krisis serius ini.
Pertama, Presiden tidak “berperasaan” sehingga apapun yang menimpa rakyat direspon biasa biasa saja. Ada sama dengan tiada. Presiden yang tidak pernah bisa hadir di tengah masyarakat.
Ini dekat dengan apa yang dikenal dengan “nero syndrome” atau sindrom Kaisar Nero yang memaksa pura-pura mengeluarkan air mata di tengah kota Roma yang ia bakar sendiri. Jiwa pemimpin yang sakit.
Kedua, memang peristiwa kerusuhan Papua adalah bagian dari permainan politik yang diketahui Presiden. Jatuh korban dianggap lumrah dalam “political game”.
Sebagaimana sewaktu peristiwa G 30 S PKI informasi adanya korban para Jenderal oleh Presiden Soekarno disikapi dengan kalimat “lumrah dalam revolusi..”.
Tidak teratasi kerusuhan karena masa agenda masih berjalan. Belum waktunya berhenti.
Ketiga, “out of control” dimana Pemerintah tidak mampu lagi mengontrol jalan aksi sehingga semua jadi berantakan. Opsi untuk mengatasi “serba salah”.
Akhirnya yang dilakukan adalah langkah sekedarnya sampai ujung yang tak jelas bentuknya. Pembiaran sebagai wujud keputus asaan.
Keempat, masalah Papua sudah menjadi masalah global. Sudah tergadai atau terjual. Ketika Pemerintah akrab dengan RRC maka Papua menjadi incaran strategis Australia dan Amerika.
Menjadi “pangkalan” untuk menekan Indonesia. PBB menjadi bagian dari upaya aneksasi Papua. Bahasanya “hak untuk merdeka”.
Pemerintah yang terlanjur memblok menjadi tak berdaya pada tekanan Internasional. Semakin represif, semakin cepat lepasnya Papua.
Memang Papua adalah pertaruhan. Jika jatuh atau lepas Papua dari Republik Indonesia, maka Jokowi mesti bertanggungjawab.
Kelemahan kepemimpinan menjadi penyebab utama dari sejarah hitam ini.
Akibat dari posisi yang tergantung maka sulit untuk melangkah dengan wibawa dan mandiri.
Akhirnya ya bersepeda saja dan tertawa menonton lawakan Kirun. Lalu, bagi bagi sertifikat sebelum dibagi “sertifikat cerai”.
Hanya dua pilihan kalau sudah begini Jokowi mengundurkan diri atau dimundurkan sesuai aturan konstitusi. Ini jalan penyelamatan Negara.
Cerita tentang sepeda pun selesai dan Kirun tidak bisa lagi membuat Presiden tertawa.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung