Artikel ini ditulis oleh Ginola Muhammad Safier, Peserta Sekolah Politik Ubedilah Badrun.
Kekuasaan politik seringkali membuat seorang individu khilaf dengan berbagai macam pernyataan mereka ketika berada di ruang publik. Tidak jarang para pejabat publik memberikan berbagai janji-janji populis mereka terhadap masyarakat ketika berjalan meraih kekuasaan politik Ketika memiliki tujuan mereka merangkak meringis, disaat yang sama terkonstruksi pengkhiantan bengis. Hanya tinggal menunggu waktu. Misalnya, belajar dari pemilu sebelumnya gejala ini dapat disebut sebagai “politik tipu-tipu” (politics of deception). Dalam tesis serupa ini juga merupakan sebuah sikap populisme. Cas Mudde, dalam buku Populisme: A very Short Introcustion (2017), populisme adalah bentuk reaksi terhadap apa yang dianggap sebagai sistem politik yang cenderung korup dan elitis, dengan memfokuskan klaim bahwa sang aktor berbicara langsung dengan lantang sebagai “pure people”. Pada beragam diskusi Vedi R Hadiz sering membahas kaitan antara populisme dan kelompok yang disebut “oligarki” terutama dalam konteks Indonesia atau negara berkembang, yang dimana populisme sering dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan. Namun, alih-alih menentang struktur sosial yang bersifat fundamental, populisme justru berbaur dengan status quo. Sikap ini mengakar yang menjadikannnya sesosok pemimpin atau penyelenggara negara juga masuk dalam konsep pragmatis. Sikap karismatik seperti itu yang mendefinisikan diri mereka dekat dengan “rakyat” atau mempertontonkan bahwa dirinya pernah menjadi Wong Cilik, sehingga dapat dengan mudah memikat kepercayaan publik tentang dirinya.
Narasi-narasi pragmatis tersebut menjadikan populisme itu semacam strategi politik yang dilakukan oleh seorang aktor politik dalam mencapai tujuan kepentingan politik dengan mengatasnamakan suara mayoritas. Namun, pada gilirannya populisme seringkali hanyalah kedok yang menutupi agenda tersembunyi, seperti perlindungan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, termasuk tindakan nepotisme.
Dalam konteks pemerintahan Jokowi, indikasi adanya nepotisme sangat terlihat dalam berbagai manuver politik yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi kekuasaan yang strategis. Fenomena yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan, di mana keluarga Jokowi dianggap memanfaatkan posisi politiknya untuk memperkuat dinasti politik mereka.
Nepotisme dalam hal ini melibatkan pemberian kekuasaan atau jabatan kepada kerabat dekat, bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan kekeluargaan. Populisme yang digaungkan oleh Jokowi tampaknya menjadi instrumen untuk menutupi atau melindungi nepotisme tersebut. Dengan membangun citra diri sebagai “pemimpin rakyat kecil”, Jokowi berhasil merangkul simpati publik dan mengalihkan perhatian dari tindakan nepotisme yang dilakukan keluarganya. Citra populis yang Jokowi ciptakan melalui retorika “dekat dengan rakyat” berfungsi sebagai kamuflase untuk membentuk citra positif, meskipun realitanya berbeda terhadap kehidupan pribadi dengan narasi populisnya.
Secara ontologis ini menimbulkan berbagai macam spekulasi dan opini liar yang tentunya berlandaskan riset akademis. Benarkah populisme dan politik tipu-tipu menjadi bagian tindakan nepotisme dalam keluarga Jokowi? Tentu pertanyaan yang sifatnya akademis, akan menghasilkan berbagai macam riset mendalam melalui berbagai perspektif, bahwa kamuflase politik Jokowi dan keluarganya merupakan bagian dari strategi populis, disaat yang sama hal tersebut erat kaitannya dengan tindak perilaku nepotisme yang sangat jelas tidak dapat dipandang sepihak, melainkan juga melibatkan intervensi kekuasaan, media massa, serta respons publik terhadap manuver atau tindakan yang dilakukan mereka sekeluarga.
Jokowi dan Seribu Kamuflase Nepotisme Keluarganya
Lain perbuatan, lain perkataan. Kiasan kata seperti itu, cocok dalam menginterpretasikan Jokowi sekeluarga. Kamuflase yang dilakukan Jokowi sekeluarga berawal dari kontestasi pemilu 2019 yang pada akhirnya mengantarkan Jokowi untuk lanjut 2 periode pasca memenangkan pemilahan presiden 2014 silam. Jokowi mendefinisikan dirinya sebagai sesosok pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Sehingga, banyak janji-janji populis yang telah dikampanyenisasikan dan hanya menjadi sebuah kepentingan elektoral semata.
Kamuflase lainnya ketika terdapat berbagai isu yang menyangkut mulusnya jalan kepentingan politik Jokowi. Misal, isu wacana Jokowi 3 Periode pada 2019 lalu. Meskipun Jokowi sebagai presiden pada masa itu mengambil sikap kenegarawanan. Tidak menutup kemungkinan pada pernyataannya di tahun 2022 yang mengaskan bahwa semua harus tunduk dan patuh terhadap konstitusi, dikarenakan Jokowi menganggap bahwa itu merupakan bagian dari aspirasi serta demokrasi. Namun, hal tersebut sudah menjadi bagian dari kamuflase politik yang membuka pintu gerbang praktik nepotismenya.
Anak jatuh tidak jauh dari Babe-nye. Pemilihan presiden lalu menjadi suatu topik yang sangat ramai diberbagai media massa. Menuai banyak kontroversi terkait putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 terkait perubahan pernyaratan usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut ditujukan untuk putra mahkota presiden yang tengah menjabat sebagai Walikota Solo, yang usianya juga belum memenuhi persyaratan dalam mengikuti kontestasi pemilihan presiden 2024. Akan tetapi Jokowi yang saat ini menduduki jabatan sebagai presiden tentu memiliki intrumen-instrumen kekuasaan yang sebenarnya itu sangat tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang bermoral dan beretika. Seterusnya, mampu meloloskan putranya hingga menjadi wapres terpilih bersama Prabowo Subianto. Ini merupakan fenomena populis dibalik adanya tindak nepotisme serta cawe-cawe yang dilakukan ayah kepada anaknya.
Memang negara ini menganut sistem demokrasi dan hak konstitusional putra mahkota sebagai warga negara untuk mencalonkan diri sebagai wapres pada kala itu. Tetapi jika hal pencalonan dimuluskan oleh keluarga yang saat itu menjabat sebagai penyelenggara negara, sungguh bangsa ini tengah menghadapi dehidrasi moral yang dimiliki seorang pemimpin. Sudah cukup penderitaan rakyat sebatas kemiskinan perut dan minimnya pendidikan.
Seribu kamuflase yang dilakukan oleh Jokowi tidak hanya berhenti pada putusan MK. Masih banyak isu-isu yang menjadi fenomena kamuflase Jokowi sebagai presiden dalam memuluskan pengaruh politiknya di Indonesia. Seperti isu gaya hidup putra bungsunya yang berkesan glamour di tengah krisis yang dialami masyarakat marjinal, hingga dugaan gratifikasi yang menimpanya. Lalu, fenomena Fufufafa yang dapat mengancam pelantikan putra sulungnya sebagai wapres terpilih pada 20 Oktober mendatang. Seribu kamuflase, seribu juga tafsir populisme Jokowi selama menjabat sebagai presiden diperiode kedua hingga diakhir masa jabatannya. Kamuflase Jokowi menjadikan Indonesia gawat konstitusi yang ditelanjangi demokrasi.
Ragam Perspektif Dalam Menafsirkan Keluarga Jokowi
Pada pidatonya Jokowi seringkali membranding citranya sebagai sosok yang merakyat, namun pada realitasnya hanya sebatas kepentingan perlindungan nepotisme semata.
Setidaknya dalam menafsirkan fenomena populis Jokowi sekeluarga tidak dapat dikaji hanya dengan satu perspektif ilmiah. Populisme dapat dikaji secara sosiologis melalui teori Dramaturgi yang melihat segala interaksi yang dilakukan keluarga Jokowi yang diibaratkan sebagai panggung sandiwara. Dalam The Presentation of Self in Everyday Life karya Erving Goffman menjelaskan terkait dramaturgi yang memiliki sebuah prinsip yakni pertunjukan.
Pertunjukan ini melibatkan interaksi front region dan back region, yang menggunakan media panggung sebagai pola tindakannya baik secara front stage ataupun back stage. Dalam konteks keluarga Jokowi teori ini mengkonstruksikan bagaimana pola interaksi yang dilakukan oleh sang aktor publik politik menggunakan berbagai macam instrumen dalam memberikan impression, seperti; pemanfaatan mimbar fiktif, media massa, atau yang paling umum dilakukan penggunaan baliho partai. Tentunya semua itu hanya sebatas citra politik populis yang sebenarnya masyarakat tidak memiliki akses terhadap back stage atau biasa disebut panggung belakang yang merupakan sebuah kebohongan.
Lebih lanjut lagi dari adanya impresi panggung depan dan belakang yang dilakukan oleh Jokowi dapat menghadirkan sistem pemerintahan yang cenderung despotism. Era kepemimpinan Jokowi jika melihat dari lensa John Keane (2020) dalam The New Despotism menjelaskan model pemerintahan yang berbeda seperti di abad ke- 21 dengan merepresentasikan masa pemerintahan menggunakan cara halus tanpa adanya kekerasan yang secara gamblang dipertontonkan selayaknya rezim otoriter di masa lalu, hal itu digunakan dalam mengendalikan opini publik.
Hal ini sangat berbahaya melainkan despotisme gaya baru sangat sulit untuk dicirikan bagi masyarakat awam, dikarenakan aktor dari rezim berupaya menampilkan diri sebagai sosok pembawa masa pencerahan kepada rakyat. Disisi lain mencoba mengikis kebebasan dan hak dalam menghadirkan sistem pemerintahan yang demokratis menuju kepada arah despotis menggunakan cara-cara yang sistematis.
Pernyataan tersebut serupa dengan kamuflase yang dilakukan begitu mulus dengan berbagai akal bulusnya, memungkinkan juga membawa Indonesia kepada kondisi demokrasi yang berada di tahap otokratik legalisme terlebih lagi melalui berbagai macam isu yang terjadi pasca pilpres 2024 kemarin. Otokrasi ini yang bahaya, terlebih ladi dalam konteks bernegara tidak menutup kemungkinan sebuah dinasti akan terbentuk, yang dipimpin oleh seorang kaisar atau otokrat yang pada masanya mengalami berbagai perubahan-perubahan walau menggunakan cara sesuai prosedural mengikuti arah konstitusional tetapi mencoba menggrogotinya dari dalam.
Kamuflase yang dilakukan Jokowi merupakan bagian dari strategi populis, dan tidak menutup kemungkinan perilaku tersebut dekat dengan istilah kleptokrasi. Kleptokrasi, yang menjadi populer pada tahun 1968 oleh Stanislav Andreski dalam masterpiece-nya Kleptocracy or Corruption as a System of Government, merujuk pada praktik kekuasaan yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan korupsi sebagai mekanisme utama.
Andreski menggambarkan kleptokrasi sebagai suatu sistem di mana pemerintah tidak lagi melayani kepentingan publik, tetapi justru menggunakan kekuasaan untuk memperkaya dan melindungi elite politiknya.
Sistem pemerintahan di bawah Jokowi, dengan berbagai strategi populisnya, seringkali menunjukkan kecenderungan serupa. Melalui langkah-langkah yang tampaknya berpihak pada rakyat, kekuasaan dilanggengkan secara konstan dengan menempatkan anggota keluarga dalam posisi strategis. Dengan demikian, keluarga tersebut menjadi bagian integral dari struktur rezim pemerintahan yang tengah berjalan.
Fenomena keluarga Jokowi juga mencerminkan prinsip kekuasaan absolut yang dijelaskan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Pernyataan ini cukup familiar dan membuat kita membuka mata terhadap praktik kekuasaan yang absolut, yang pada gilirannya menciptakan sistem kekuasaan dengan korupsi serta absolut. Kekuasaan yang tidak terkontrol dan tanpa batas kerap melahirkan ruang gelap bagi penyalahgunaan wewenang, di mana batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi semakin kabur.
Dengan begini, lengkap sudah. Semuanya berwajah ganda. Di satu sisi, ada narasi keberpihakan pada rakyat, namun di sisi lain, ada potensi terselubung dalam dinamika kekuasaan yang memungkinkan terciptanya monopoli keluarga. Ketika loyalitas publik dipertaruhkan demi menjaga kekuasaan, tidak jarang praktik populisme ini berubah menjadi strategi dalam berlindung pengamanan kekuasaan, bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk memperpanjang hegemoni keluarga. Pada akhirnya, masyarakat perlu menyadari bahwa praktik nepotis dari wajah populisme yang tampak ramah bisa menyembunyikan lapisan kompleks di mana kepentingan kekuasaan bermain dalam ranah orang dewasa. Biarkan masyarakat menilai.
[***]