NEOLIBERALISME adalah sistem perekonomian yang merupakan kebangkitan kembali dari perekonomian liberal yang berbasis kepada prinsip Laissez – faire. Yang pada intinya memberikan peranan yang luas kepada swasta dan mengurangi peranan pemerintah didalam mengatur perekonomian negara.
Perekonomian liberal pernah menimbulkan depresi besar di Amerika Serikat, mengakibatkan pengangguran sampai dengan 25 persen pada tahun 1930-an. Akibat depresi besar ini menimbulkan teori ekonomi baru yang dirilis oleh John Maynard Keynes dalam bukunya yang berjudul ‘The General Theory of Employment, Interest and Money’ yang terbit tahun 1936. Dalam buku itu pada intinya Keynes menganjurkan campur tangan pemerintah dalam mengatur ekonomi negara untuk mencegah terjadinya dampak buruk dari resesi dan depresi ekonomi.
Kebijakan ekonomi neoliberal pada intinya adalah liberalisme ekonomi, misalnya austerity (penghematan belanja pemerintah), privatisasi (penjualan perusahan-perusahaan milik negara baik sebagian kecil, besar atau seluruhnya), anti kepada subsidi dalam bentuk apapun dan kepada siapapun, deregulasi (seminimal mungkin peraturan pemerintah), perdagangan bebas, ‘tax cutting’ (pemotongan pajak agar perusahaan-perusahaan swasta bergairah melakukan usahanya) dan sebagainya.
Neoliberal muncul pada tahun 1980-an ketika Magaret Tatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979-1990 dan Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika Serikat pada tahun 1981-1989.
Tatcher menghadapi inflasi yang tinggi sampai 16 persen, serikat buruh yang terlalu kuat, perekonomian yang melambat terutama di sektor manufaktur dan sektor manufaktur yang berdaya saing rendah. Sementara Ronald Reagan menghadapi resesi ekonomi yang terbesar sejak 1930 dan pengangguran yang mencapai 10,8 persen.
Pada tahun-tahun awal pemerintahan di awal 1980-an, Tatcher menggunakan prinsip monetarisme terutama untuk mengendalikan inflasi yang tinggi, yaitu dengan mengendalikan suplai uang beredar dengan menaikkan sukubunga, menaikkan pajak dan mengurangi belanja pemerintah (penghematan/austerity).
Kebijakan ini berhasil menurunkan inflasi, tetapi karena mata uang poundsterling menguat malah menjadi melemahkan perekonomian Inggris, pengangguran meningkat dan penurunan sektor manufaktur. Terbukti kemudian bahwa kebijakan pengurangan uang beredar tidak efektif dan pada 1984 kebijakan ini dihentikan.
Kebijakan Tatcher kemudian berganti menjadi privatisasi perusahaan-perusahaa negara di sektor-sektor industri yang penting atau utama, mengurangi regulasi pemerintah (deregulasi) untuk meningkatkan persaingan di pasar, mengurangi kekuatan serikat buruh dan mengurangi pajak penghasilan.
Akibat dari kebijakan ini berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Inggris lebih dari 5 persen, harga properti naik, belanja masyarakat naik tetapi juga menaikkan inflasi lagi lebih dari 10 persen. Untuk mengatasi inflasi ini ikeluarkan kebijakan ekonomi yang mengakibatkan terjadi resesi ekonomi lagi ditahun 1991 sampai 1992.
Empat pilar utama kebijakan ekonomi Ronald Reagan adalah mengurangi belanja pemerintah (penghematan/austerity), mengurangi pajak termasuk pajak capital gain, mengurangi regulasi (deregulasi) dan mengurangi suplai uang beredar untuk mengurangi inflasi.
Akibat dari kebijakan ekonomi Ronald Reagan ini utang pemerintah meningkat tiga kali lipat dalam delapan tahun dan menjadikan Amerika Serikat dari negara kreditor (pemberi utang) terbesar di dunia menjadi negara debitor (pengutang) terbesar di dunia hanya dalam 8 tahun.
Perekonomian neoliberal ini banyak sekali diterapkan oleh IMF dalam membantu negara-negara yang sedang dalam kesulitan ekonomi seperti Argentina, Indonesia dan terakhir Yunani. Semuanya gagal dan malah memperparah kondisi ekonomi negara-negara tersebut.
Argentina justru malah mengalami kisis besar di taun 2001, Indonesia justru ekonominya anjlok ke minus 13 persen, Yunani GDP-nya mengecil menjadi sepertiganya dan utangnya justru membesar dari 130 persen GDP menjadi 170 persen GDP. IMF sendiri akhirnya mengakui kegagalan dari Neoliberalisme.
Presiden Jokowi pada waktu kampanye menjanjikan program Nawacita yang antara lain akan membangun dari pinggiran, dari desa, dari Indonesia Timur, membangun poros maritim, membangun kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Janji-janji tersebut sebagian telah dipenuhi walaupun masih memerlukan proses, seperti Kartu Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, dicairkannya Dana Desa Rp60 triliun, pembangunan infrastruktur di mana-mana termasuk di Papua yang sangat cepat.
Namun di dalam kebijakan-kebijakan ekonominya banyak yang bertentangan dengan Nawacita, menyengsarakan rakyat banyak bahkan juga membahayakan perekomian kita di masa depan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain besarnya dan cepatnya utang yang menumpuk.
Dalam hanya 2,5 tahun (sampai Juni 2017) tambahan utangnya sudah mencapai Rp1098 triliun jauh lebih besar, bahkan lebih besar dari 3 kali lipat dari tambahan utang yang dibuat SBY selama 5 tahun (2004-2009) yang besarnya hanya Rp315 triliun. Bahkan tambahan utang pemerintah Jokowi selama bulan Juli 2017 (hanya dalam 1 bulan) sebesar Rp73,47 triliun. Di satu pihak utang pemerintah meledak sangat tinggi tetapi justru pertumbuhan ekonomi hanya rendah saja.
Menurut data BPS tahun 2015 hanya tumbuh 4,79 persen (terendah selama 6 tahun), 2016 tumbuh 5,02 dan semester 1 2017 (kwartal 1 dan 2) hanya tumbuh 5,01 persen. Padahal ada THR, gaji ke 13, lebaran dan sebagainya.
Bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja yang rendah tetapi juga kenyataan dilapangan terjadi kelesuan ekonomi, daya beli konsumen yang melemah. Walaupun pemerintah mengeles dengan berbagai alasan seperti karena adanya pergeseran dari bisnis konvensional kepada bisnis online, tetapi data BPS tidak bisa dibantah bahwa ekonomi hanya tumbuh mendatar 5 persen.
Dalih bahwa adanya tabungan di bank yang meningkat berarti bukan daya beli yang melemah malah menunjukkan bahwa pemilik uang tidak yakin bahwa kalau uangnya diinvestasikan akan memguntungkan, bisa-bisa malah merugi. Karena itu disimpan di bank yang keuntungannya pasti jauh lebih kecil dari pada diinvestasikan bila keadaan perekonomian sehat.
Apalagi RAPBN 2018 hanya mentargetkan pertumbuhan 5,4 persen, rendah sekali. Sementara 2016 Filipina tumbuh 6,8 persen, Vietnam tumbuh 6,2 persen. Target 2017 Filipina dan Vietnam tumbuh diatas 6,5 persen.
Mengapa bisa demikian? Sebenarnya pelemahan daya beli itu sudah dimulai dari ketika Presiden Jokowi mulai menjabat, langsung mencabut subsidi BBM, dimana biaya transportasi rakyat langsung meningkat naik. Tanpa disadari ini adalah langkah yang sejalan dengan perekonomian neoliberal yang sangat anti subsidi kepada sektor manapun.
Subsidi dipandang sebagai distorsi ekonomi dan dikatakan dengan bahasa sederhana sebagai membakar uang di jalan. Tetapi sesungguhnya subsidi BBM selama inilah yang menhidupkan perekonomian rakyat, mendukung transportasi dan logistik barang dan jasa yang terjangkau.
Ekonom senior DR Rizal Ramli sering mengatakan bila subsidi mau dikurangi atau dihapus maka taraf perekonomian rakyat harus dtingkatkan dahulu agar rakyat mampu membelinya.
Kebijakan ekoomi yang memberatkan dan memperlemah daya beli rakyat ini dipertajam lagi dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati ke dalam kabinet Presiden Jokowi yang langsung memotong APBN 2016 sebesar Rp133 triliun setelah Menteri Keuangan sebelumnya Bambang Brodjonegoro juga memotong Rp50 triliun.
Total pemotongan sebesar Rp183 triliun ini dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi 2016 yang hanya 5,02 persen berakibat besar kepada perekonomian, menyebabkan lemahnya daya beli seperti dikonfirmasi oleh BPS bahwa bulan Agustus 2017 telah terjadi deflasi.
Pemotongan anggaran oleh SMI ini menunjukkan langkah perekonomian neoliberal yang disebut dengan austerity (penghematan anggaran pemerintah). Langkah ini juga dilanjutkan dengan pemotongan subsidi listrik pelanggan PLN untuk daya sebesar 900 VA sebesar Rp15 triliun. Selain itu juga dinaikkannya tarif PLN untuk pelanggan-pelanggan yang lain. Langkah IMF dalam rangka “membantu” Yunani yang menyebabkan krisis di Eropa (EU) juga memotong uang pensiunan dalam rangka austerity (penghematan belanja pemerintah).
SMI juga sudah mulai menyinggung masalah uang pensiunan walaupun masih belum jelas arahnya (penambahan atau pengurangan atau pengurangan yang ditampilkan seperti penambahan).
SMI yang pernah mengabdikan loyalitasnya dan menimba ilmu di IMF sebagai Direktur Asia Tenggara 2002-2004 dan di Bank Dunia sebagai salah satu dari tiga orang Managing Director 2010-2016 adalah penganut mazhab neoliberal.
Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakannya yang utama adalah austerity (pemotongan anggaran pemerintah), mengurangi atau mencabut subsidi (harga BBM dijanjikan tidak naik hanya sampai akhir tahun ini. Tahun depan pasti naik), mengejar-ngejar pajak (ribuan peserta tax amnesty masih akan diperiksa lagi) dan privatisasi BUMN (sudah mulai diwacanakan).
Pelemahan ekonomi yang terjadi ini bukan hanya membuat rakyat kecil menderita tetapi juga para pengusaha dari UMKM sampai besar juga tidak merasa nyaman , mulai merugi, mengurangi karyawan dan pesimis. Bila kebijakan-kebijakan beoliberal ini dilanjutkan akan membuat rusak ekonomi Indonesia dan akan menjatuhkan popularitas Presiden Jokowi.
Memang pada waktu Presiden Jokowi ke daerah-daerah disambut dengan gembira oleh rakyat sampai banyak yang meminta selfi dan sebagainya. Tetapi begitu rakyat itu pulang ke rumahnya akan menghadapi lagi kenyataan hidup yang pahit, akibat penghasilannya makin lama makin tidak cukup untuk hidup.
Oleh Abdurachim K, Pengamat Kebijakan Publik