KedaiPena.Com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak Kementeri Luar Negeri memastikan perlindungan kepada nelayan warga negara Indonesia di luar negeri.
Desakan ini terkait dengan ketidakjelasan situasi dan keberadaan enam nelayan tradisional yang terdiri dari satu nakhoda M. Fahrol Razi (20 tahun) dan lima nelayan ABK yang telah ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia (APPM) sejak Januari 2018.
“Bahkan, KNTI telah mengirimkan surat Desakan Percepatan Pembebasan Nelayan Tradisional Indonesia ditahan Malaysia kepada Presiden dan juga Menteri Luar Negeri,” kata Marthin Hadiwinata, Ketua Harian DPP KNTI dalam keterangan pers yang diterima redaksi, ditulis Kamis (7/6/2018).
Perlindungan warga negara di luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang ditegaskan UU
No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Selain melakukan perlindungan, pemerintah juga
berkewajiban memberikan bantuan kepada warga negara Indonesia yang sedang memiliki
masalah di luar negeri.
“Ditegaskan dalam Pasal 21 UU No. 37/1999, apabila Warga Negara terancam bahaya nyata, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara,” sambungnya.
Selanjutnya, secara tegas Pasal 42 UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
memandatkan Pemerintah untuk memberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi nelayan
yang mengalami permasalahan penangkapan ikan di wilayah negara lain.
Di sisi lain, kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia telah tunduk kepada ketentuan hukum
internasional yang melindungi hak nelayan tradisional untuk menangkap ikan di perairan lintas
batas.
“Berdasarkan UNCLOS 1982, setiap nelayan tradisional memiliki hak untuk menangkap ikan
yang melintasi batas antar negara yang berdampingan. Selain itu, telah ada Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Indonesia dan Malaysia terkait kegiatan nelayan
tradisional yang melintasi batas kedua negara,” jelas Marthin.
MoU tersebut ditandatangani oleh perwakilan kedua negara pada 27 Januari 2012 yang mengikat kedua negara terutama dalam kegiatan perikanan melintas batas. Setiap negara jika terjadi pelintas batas oleh nelayan maka wajib untuk melakukan inspeksi dan permintaan untuk meninggalkan wilayah perairan tersebut.
Tindakan tersebut dikecualikan bagi pengguna alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik dan kimia dimana korban M. Fahrol Rozi dkk tidak menggunakan alat tangkap ilegal.
“Untuk itu, kami mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia khususnya kepada Kementerian
Luar Negeri beserta jajarannya untuk memastikan keberadaan M.Fahrol Razi dkk,” serunya.
Caranya, dengan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia dan Konsulat Jendral Indonesia di
Malaysia. Kedua, KNTI mendesak agar Kemlu mempercepat upaya pembebasan nelayan tradisional Indonesia yang telah ditahan sejak 18 Januari 2018.
“Ketiga, memastikan pemenuhan hak asasi khususnya hak ekonomi dari keluarga korban yang hingga saat ini tidak mendapatkan nafkah ekonomi setelah ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia. Keempat, menyelesaikan masalah perbatasan wilayah laut antara Indonesia dengan Malaysia. Terakhir memperkuat pengawasan perbatasan untuk memastikan perlindungan nelayan tradisional Indonesia di batas laut dengan Malaysia,” tandasnya.
Sebagai informasi, pada Januari 2018 M. Fahrol Razi beralamat dari Babalan Gang Sampan
Kelurahan Berandan Timur Kec. Babalan Langkat, Provinsi Sumatera Utara sebagai nakhoda
beserta lima anak buah kapal (ABK) di atas kapal bertanda nama “JUANDA†ditangkap oleh Agensi
Penguatan Perairan Malaysia.
Penangkapan tersebut setelah melakukan aktivitas penangkapan ikan di Selat Melaka perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Berdasarkan informasi yang simpangsiur diterima oleh keluarga korban, kemudian teryata telah dikenakan hukum dan telah mengalami masa hukuman antara 4-6 bulan.
Bahkan hingga detik rilis ini diluncurkan, mereka belum mendapatkan kejelasan dan belum kembali ke keluarga mereka masing-masing. Menurut keterangan keluarga korban mereka berada di tempat penampungan “Cam Zero†dan belum jelas keberadaannya.
Pengurus KNTI Daerah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, sebelumnya telah mengirimkan surat No: 008K/KNTI-LKT-UT/012018 kepada Bapak Presiden Joko Widodo perihal Laporan Tertangkap Dan Minta Di Pulangkan Segera pada 19 Januari 2018.
Surat tersebut memberikan laporan dari keluarga nelayan tradisional di perbatasan yang menjadi korban penangkapan aparat Malaysia dari 6 orang dalam. Namun hingga saat ini tidak ada kejelasan atas penanganan kasus tersebut.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas