Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Sebelum Mosi Integral disuarakan Mohammad Natsir di parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat), 3 April 1950, yang mengembalikan Indonesia dari Negara Serikat ke Negara Kesatuan, negeri ini punya banyak sebutan dengan berbagai istilah.
Di era Hindia Belanda (1800-1949) ada istilah Beambtenstaat (Negara Pejabat). Yang intinya merupakan pemerintahan dengan sistem indirect rule (pemerintahan tak langsung), yaitu pemerintahan melalui perantaraan penguasa-penguasa pribumi, seperti para priyayi yang diangkat menjadi pejabat untuk bertindak sebagai boneka kolonial.
Ada pula yang menyebut era tersebut sebagai era Politiestaat, alias era Negara Polisi.
Karena menekankan Rust en Orde (Ketenangan dan Ketertiban), dan atas nama jargon ini di era 1920-an polisi kolonial menindas para tokoh pergerakan kemerdekaan.
Belakangan antropolog Clifford Geertz mengintrodusir istilah Theatre State atau Negara Teater.
Yaitu negara yang menekankan dramatisasi obsesi-obsesi kelas yang berkuasa, seperti para politisi, raja, atau presiden, dengan mementingkan ritual, seremonial, dan simbol, yang dalam konteks sekarang berupa basi-basi pencitraan, peresmian proyek-proyek seperti bendungan, jalan tol, hingga bandara, yang ternyata mangkrak. Sementara pembiayaannya hasil ngutang.
Negara Teater bukan pemerintahan yang mengabdi untuk rakyat, dan birokrasinya bukan melayani rakyat, melainkan sama dengan pertunjukan teater yang diorganisir.
Cita-cita Rechtsstaat (Negara Hukum) yang dulu diperjuangkan oleh para pendiri Republik kini semakin jauh dari tujuan.
Alih-alih jadi Negara Hukum yang menjamin “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dalam delapan tahun terakhir ini Indonesia malah menjadi Negara Oknum.
Apa itu Negara Oknum?
Negara Oknum adalah tempat orang-orang bersalah yang berasal dari berbagai institusi atau birokrasi yang melakukan pelanggaran hukum dan tindakan tercela, yang jumlahnya dari waktu ke waktu kian banyak, namun selalu lolos dari jerat hukum, karena dilindungi jaringan kekuasaan dan kekuatan uang yang dimiliki.
Kata “oknum” sendiri esensinya adalah eufemisme. Penghalusan dari kata-kata yang dianggap tabu atau bentuk penghindaran dari sikap berterus-terang, sehingga bertendensi menutup-nutupi.
Di balik eufemisme seperti itu terdapat mentalitas “bukan saya” untuk melempar tanggungjawab dan mencari “kambing hitam”.
Itulah misalnya dengan menunjuk persoalan Menkeu Sri Mulyani yang institusinya kini dilumuri cela perkara pajak dan bea cukai, tokoh nasional Dr Rizal Ramli menekankan pentingnya integritas (sifat bersih diri) seorang pejabat, terutama karena seorang menteri keuangan adalah bendahara negara.
“Kalau mau membersihkan meja kotor, pakailah lap yang bersih. Sri Mulyani bukan lap yang bersih,” tegas Rizal Ramli, seperti dikutip media online belum lama ini.
Menyusul perkara Rafael Alun Trisambodo, Kepala Biro Umum Ditjen Pajak, yang punya harta fantastis dan duit puluhan miliar, Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai, Jogjakarta, yang pamer pesawat Cesna dan kendaraan mewah, serta Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono, yang disorot masyarakat lantaran memiliki harta kekayaan Rp 13,7 miliar.
Aib dan bobroknya birokrasi di kementerian keuangan di bawah asuhan Sri Mulyani kini memang semakin terungkap dan mengundang kebencian rakyat yang selama ini rela membayar pajak di tengah keterpurukan perekonomian yang semakin sulit.
Sri Mulyani juga memperlihatkan sikap melempar tanggungjawab, meski mengaku telah menerima laporan PPATK tentang 200 berkas transaksi mencurigakan di kementerian yang dipimpinnya, namun mengaku tidak tahu menahu soal transaksi janggal senilai Rp 300 triliun di laporan tersebut.
Laporan itu sendiri menurut Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana, telah disampaikan ke Kemenkeu selama tahun 2009 sampai 2023. Adapun temuan transaksi janggal senilai Rp 300 triliun yang melibatkan 460 pegawai Kemenkeu ini diungkapkan Menko Polhukam, Mahfud MD. Ia menyebut mayoritas transaksi terjadi di lingkungan Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Membersihkan meja kotor memang tak mungkin berhasil dengan menggunakan lap yang kotor. Kotoran yang tak lekas dibersihkan pada akhirnya menimbulkan kebusukan dan penyakit. Kondisi tak sehat di Kemenkeu harus segera diatasi menyusul kemarahan publik yang hilang kepercayaan untuk membayar pajak dan juga terhadap institusi bea cukai.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral Sri Mulyani selayaknya segera mengundurkan diri. Apalagi selama bertahun-tahun mondar-mandir jadi menteri keuangan ternyata ia banyak menghasilkan catatan buruk yang tak pro kepada kepentingan mayoritas rakyat, mulai dari skandal Century, kasus Gayus Tambunan, kebijakan-kebijakan pro neoliberal, hingga menumpuk utang yang mewariskan beban masa depan bangsa.
Bukankah ungkapan Jawa yang luhur itu juga berkata:
Becik ketitik olo ketoro. Keburukan akan terlihat meski ditutup-tutupi dan disembunyikan.
[***]