KedaiPena.Com – Iwan Mulyadi, korban lumpuh permanen akibat kena tembak oleh anggota Polri 2006, masih belum menerima haknya. Iwan diperlakukan tak adil oleh Negaranya.Â
Padahal, pada 14 Agustus 2007 melalui PN Pasaman Barat, Iwan menggugat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Negara terhadap dirinya. Pengadilan kemudian menghukum Pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai tergugat adalah Presiden RI, Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Kepolisian Resor Pasaman Barat, Kepolisian Sektor Kinali. Mereka selaku tergugat harus membayar ganti rugi immaterial Rp300 juta kepada Iwan Mulyadi.
‎
Sejak putusan berkekuatan hukum tetap, terhitung Mei 2011, hingga saat ini, Desember 2016, tergugat tidak menjalankan amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkcarcht Van Gewijsde) tersebut. Sehingga Iwan Mulyadi belum menerima haknya berupa ganti rugi (immateriil) sebesar Rp. 300 juta.
‎
Pada Kamis 22 Desember 2016, PBHI bersama Iwan Mulyadi mendatangi Kompolnas RI bertemu dengan Komisioner Kompolnas Poengky Indiarti SH, LLM dan perwakilan Komnas HAM RI.Â
Sahnan Sahuri Siregar selaku kuasa hukum Iwan menyatakan, jawaban Div. Humas Mabes Polri Rikwanto sekalipun lebih baik, tapi belum menjawab persoalan. Polri sebagai Institusi yang memiliki tugas pokok menegakan hukum semestinya melihatkan sikap hormat dan tunduk pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkcarcht Van Gewijsde).Â
Karena norma persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tak hanya mengikat warga negara, juga bagi Negara.Â
UUD 1945 juga memuat norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukumâ€.Â
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum juga dikategorikan sebagai salah satu hak tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Â
‎
“Kami dari pihak korban telah lama melaksanakan dan mengajukan permohonan eksekusi atas putusan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijdde), Namun Negara (Polri) tetap tidak melaksanakan kewajibannya menjalankan amar putusan pengadilan dengan alasan tidak mempunyai anggaran. Akibatnya keadilan di negara hukum terabaikan,” kata Sahnan.‎
Sementara, Totok Yulianto selaku Ketua PBHI Nasional menyatakan, peristiwa ini harus menjadi perhatian semua pihak sekaitan dengan upaya pemenuhan HAM. Padahal  secara normatif, UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah meletakkan konsep perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia secara lebih memadai.Â
Aparat penegak hukum sebagai lembaga yang fungsinya berkaitan dengan penegakan hukum tidak boleh menciderai hukum dan keadilan.Â
“Olehnya, kedatangan kami hari ini ke Kompolnas adalah dalam rangka mendorong perbaikan kebijakan Institusi Polri. Jangan kemudian, persoalan administrasi anggaran membuat respon Negara tidak bertanggung jawab terhadap korban,” tegas dia.Â
“Kami juga berharap kepada Komnas HAM untuk membuat rekomendasi konkret kepada Polri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap warga Negara. Sehingga ke depan Negara punya mekanisme pertanggungjawaban yang jelas atas pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh‎