Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Tahun 1931 di Rotterdam, Belanda, Bung Hatta menulis artikel berjudul “Partai Indonesia dan Saya”. Ia mencela “demokrasi kolonial” yang berlangsung di tanah air sebagai demokrasi basa-basi.
“Perkataan demokrasi hanya di bibir. Tidak kelihatan dalam praktek. Rakyat dianggap keset tempat membersihkan kaki. Hanya dibutuhkan untuk tepuk tangan, apabila ada pidato yang bagus,” tulisnya.
Hatta mengkritik Sukarno yang dengan Demokrasi Terpimpin di era 1950-an ingin mencapai masyarakat adil-makmur melalui Revolusi Belum Selesai.
Demokrasi dengan revolusi terus menerus, menurut Hatta, tiada ubahnya dengan anarki.
Revolusi ialah umwertung aller werte (revaluasi semua nilai), dan bersifat sementara.
Di masa Demokrasi Terpimpin hukum tenggelam di bawah patrimonialisme ideologi rezim. Waktu itu banyak ahli hukum nggak kepake. Menteri hukumnya memodifikasi lambang Dewi Keadilan dengan menambah kata “pengayoman” dan gambar pohon beringin.
Tetapi maksud dan tujuannya diragukan apakah diperuntukkan bagi seluruh pencari keadilan, atau buat mengayomi orang yang bersalah.
Radjiman Wedyodiningrat mengecam Volksraad yang tak menghasilkan kekuasaan untuk pribumi, dan sejak 1925 DPR Hindia Belanda itu ditinggalkan oleh para tokoh pergerakan yang semula memilih jalan kooperatif.
Haji Agus Salim yang mewakili Sarekat Islam menyebut lembaga itu “komedi omong” belaka.
Demikian pula hari ini mayoritas rakyat melihat “DPR kolonial di Senayan” tak ubahnya dengan komedi omong. Para anggotanya berkelakuan seperti pepatah Belanda:
“Praat Als Een Kip Zonder Kop. Berbicara seperti ayam tanpa kepala …”
DPR sebagai salah satu tiang demokrasi tak bekerja untuk kepentingan rakyat. Koran-koran nasional di tahun 1950-an menyebut lembaga legislatif seperti itu ibarat monster verbond.
Perkumpulan para monster atau setan-setan, yang menjadikan konstitusi sekedar alat untuk perebutan kekuasaan.
Para tokoh pro demokrasilah yang kini mengkritisi usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, karena berpotensi merusak demokrasi.
Analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, misalnya, mengatakan, sejatinya jabatan publik yang dipilih oleh rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan untuk menghindari kecenderungan korupsi dan otoritarian.
Menurutnya, secara argumen ide perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat lemah. Lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi.
Ubedilah Badrun menegaskan, untuk masa jabatan 6 tahun saja kini tercatat ada 686 kepala desa yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Selain itu, dalam pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan bahwa kepala desa dapat ikut pemilihan kepala desa selama tiga periode berturut-turut, atau tidak berturut-turut.
Dengan demikian, jika masa jabatan diberikan 9 tahun maka kepala desa dapat menjabat selama 27 tahun.
“Ini berpotensi sangat besar menjalankan praktik korupsi,” tandasnya.
Ia menambahkan, kalau para kepala desa dan politikus PDIP Budiman Sudjatmiko tetap menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan disetujui oleh Presiden Jokowi, menurut Ubedilah, jangan-jangan ada benarnya bahwa tuntutan tersebut adalah bagian dari cara Jokowi untuk memperlancar upaya perpanjangan periode kekuasaanya sebagai presiden.
Pernyataan tegas juga disampaikan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli. Menurutnya, Jokowi tidak pernah berjuang untuk demokrasi, namun kini mempreteli demokrasi.
“Padahal Mbak Mega sudah melarang perpanjangan masa jabatan Jokowi. Tapi dewan makar konstitusi memang ndableg. Tetap ngeyel dengan segala cara. Termasuk dengan ‘tukar-guling’ masa jabatan para kepala desa,” ujar Rizal Ramli sambil menambahkan, gerombolan makar konstitusi tersebut kini masih terus bergerilya.
Antara lain dengan memakai big data, pollingRp berbayar, hingga perpanjangan masa jabatan kepala desa.
“Ibaratnya partitur makarnya sudah siap, penyanyi polling, sampai bandarnya pun sudah siap,” tandas Rizal Ramli.
“Jika sudah demikian halnya, rakyat bolehlah ikut bertanya: “Megawati bisa apa?”.
[***]