MUNGKIN tak sejumlah jari. Kurang dari sepuluh. Itu jika kita bertanya berapa jumlah orang di negeri yang kita cintai ini, yang daya kritis dan nasionalismenya seperti energizer, tak lekang berpuluh tahun, meski mungkin godaan uang dan jabatan, datang laksana gelombang, susul menyusul membuai.
Silahkan Anda menyebut nama yang Anda kenal, dan saya menulis satu nama yakni Rizal Ramli. Silahkan juga berdebat panjang soal nama ini, dan singkirkan dulu saran para buzzer berbayar yang hari-hari ini mungkin dipesan meracuni timeline kita dengan rumor, fitnah, dan doxing kepada siapa saja, dari menu rujukan Anda. Lakukan riset kecil-kecilan. Baca dengan tenang aneka diskusi dan perdebatan. Resapi poin pentingnya bagi bangsa ini. Lalu percayalah pada penilaian pikiran dan hati Anda sendiri.
Semenjak belia sudah yatim piatu, tinggal bersama kakek dan nenek, hidup Rizal Ramli dibentuk sekian kesulitan. Pada masa remaja bekerja sebagai penterjemah, dan semenjak itu dia menyadari bahwa kemandirian adalah tumpuan terbaik dalam menjalani kehidupan.
Kekaguman pada Albert Einstein menggiring dia jatuh cinta pada matematika dan fisika. Dua jenis ilmu yang menuju hasil memerlukan jalan. Perlu rumusan. Perlu berpikir keras. Dan membuat kulit di dahi kita seringkali sontak berkerut. Kecintaan pada dua ilmu itulah yang melempangkan jalan Rizal muda lolos masuk Institut Teknologi Bandung(ITB), dan duduk di jurusan Fisika.
‘Non scholae sed vitae discimus’. Kita belajar bukan untuk memperoleh nilai (ijazah), tapi untuk kehidupan. Begitu wejangan pepatah latin. Dari ruang kuliah, dari aneka buku bacaan, dari sekian ruang diskusi yang tak hanya bicara rumus fisika tapi juga tentang politik, ekonomi, dan keadilan, semenjak muda Rizal Ramli sudah kritis terhadap cara pemerintah mengatur kehidupan, mengatur negara.
Bersama sejumlah rekan mudanya, dia meyakini bahwa rumus mengelola negara yang keliru, membawa bangsa ini pada arah yang keliru. Jurang antara si kaya dan si miskin bisa melebar. Ekonomi jadi timpang. Utang dan modal asing kian hari kian dominan, dan pada akhirnya kita sebagai bangsa akan kehilangan tumpuan untuk mandiri dan berdaulat secara ekonomi.
Rangkaian keresahan itulah yang mendorong Rizal, saat itu menjadi Wakil Ketua Dewan Mahasiswa ITB, bersama teman-temannya turun ke jalan berunjuk rasa tahun 1978. Sekian hari dikejar aparat, mereka ditangkap, diadili versi pemerintah, dan dijebloskan ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat, selama satu setengah tahun.
Fisik di penjara, pikiran berkelana. Begitulah yang terjadi dengan anak-anak muda itu. Di dalam bui itu, mereka tetap rajin berdiskusi tentang politik, demokrasi, dan tentang ekonomi yang jalannya kian timpang.
Lepas dari jeruji Sukamiskin, dan setelah merampungkan kuliah, Rizal kemudian meneruskan pendidikan di Boston Amerika Serikat, hingga meraih gelar doktor dalam bidang ekonomi.
Kembali dari negeri Paman Sam itu, bersama sejumlah kawan, Rizal mendirikan Econit, sebuah lembaga kajian dan riset ekonomi. Lembaga inilah yang pada tahun 1990-an rajin melansir data ekonomi. Mengritik keras soal utang yang tidak saja bengkak tapi juga bocor. Tentang bahaya utang swasta bagi ekonomi nasional. Bubble di sektor properti. Perbankan yang doyan salurkan duit ke aneka jenis usaha sendiri hingga melampaui batas.
Dan kajian Econit jadi rujukan para pelaku bisnis. Dibaca para investor. Serta jadi berita di halaman media massa nasional juga internasional. Pada masa itu, Econit adalah satu dari sedikit lembaga tempat publik bahkan juga pengusaha, menyelami wajah ekonomi nasional yang sesungguhnya, dari wajah penuh dandanan sekian ekonom di pemerintahan dan sanjungan aneka lembaga keuangan internasional.
Dan kita tahu, krisis 1998 yang berujung pada lengsernya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, bermula dari krisis multidimensi termasuk ekonomi dengan sekian keresahan angka seperti dicatat oleh Econit itu. Dengan hanya bertumpu pada kekuatan modal, juga utang luar negeri, ekonomi kita terlihat seperti rumah kardus. Gampang terbang begitu disapu angin. Akar tak kuat. Kita akhirnya merasakan tabiat uang yang tak punya nasionalisme, dan capital flight adalah cara dia melarikan diri meninggalkan rupiah yang terus tersungkur nyaris ke Rp.17 ribu untuk satu dolar. Ekonomi mati. Kekuasaan tamat.
Lalu reformasi datang. Rizal menduduki sejumlah posisi penting pada pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sahabat sekaligus guru kehidupannya. Pernah menjadi Kepala Bulog, dan bersama sahabatnya yang lain yakni Mahfud MD, Rizal ikut membongkar skandal keuangan di badan ini yang melibatkan sejumlah tokoh politik nasional saat itu.
Hubungan Rizal dengan Gus Dur memang begitu karib. Saling mendukung. Dan satu hati soal bangsa. Dia dipercaya menjadi Kepala Bapenas, Menteri Keuangan, juga Menteri Kordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan. Sekian tahun ekonomi negeri ini begitu terpusat, Gus Dur bersama tim ekonomi yang dipimpin Rizal berusaha mendistribusikan kekuatan ke daerah. Mereka melakukan desentralisasi fiskal. Membuka otonomi daerah. Membagi dana. Menerapkan pajak dan retribusi daerah.
Serangkaian langkah itu adalah catatan sejarah yang jika dicari tak begitu sulit, mudah ditemukan jejaknya di halaman media masa kita. Kompas.com dalam tulisan khusus berjudul ‘Jejak Pertumbuham Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa‘ yang dipublikasikan pada Senin 26 November 2018, mengulas tentang upaya pemerintah pada setiap etape perjalanan bangsa kita.
Dari minus 13,13 persen pada tahun 1998, perlahan pulih ke 0,97 persen tahun 1999, ekonomi tumbuh pada 4,92 persen pada tahun 2000 ketika Gus Dur menjadi presiden. Sayang kemelut politik nasional yang penuh intrik menumbangkan Gus Dur pada separuh tahun dan ekonomi hanya tumbuh 3,64 persen tahun 2001. Tapi sejarah mencatat bahwa semenjak itu, jangkar kekuataan ekonomi daerah perlahan mulai mengakar.
Meski pernah menduduki sekian posisi empuk, Rizal tidak pernah “basah” seperti banyak pejabat kita yang turun dari kursi kekuasaan bertabur harta sekaligus bergelimang masalah seperti korupsi, yang menjadi benalu terbesar bangsa kita ini.
Mungkin itulah sebabnya, mengapa Rizal terlihat seperti punya kemewahan dalam hidupnya; kritis dan lugas terhadap kekuasaan, meski mereka yang dipucuk adalah juga sahabatnya sendiri, atau bahkan dia sendiri sedang berada dalam pemerintahan, seperti ketika dia keras mengkritik pembangunan listrik 35 ribu megawatt.
Lakukan saja riset media, atau sekedar berselancar di mesin pencari tentang proyek raksasa ini. Tanggal 7 September 2015, belum genap sebulan menjadi Menko Maritim, usai rapat kordinasi kelistrikan, Rizal bikin publik terhenyak. Bila target 35 ribu megawatt tetap dilanjutkan, katanya, maka PLN bakal rugi triliunan dan itu akan membuat perusahaan negara itu kesulitan. Pasokan akan jauh melampaui permintaan. PLN akan rugi. Jejak pernyataan Rizal itu mudah ditemukan halaman media massa kita.
Masuk saja ke mesin pencari Google, ketik: Rizal Ramli: proyek 35 ribu megawatt akan rugikan PLN, maka Anda akan disuguhi indeks dari media massa nasional.
Lalu silahkan menikmati perdebatan soal ini dan sekian sanggahan terhadap Rizal. Resapi dan bikin penilaianmu sendiri. Tanggal 31 Mei 2016, Rizal kembali bicara soal proyek raksasa ini. Dia lagi-lagi bilang bahwa jika proyek ini diteruskan maka PLN akan terjerat kesulitan keuangan.
Dua tahun setelah pernyataan Rizal Ramli itu, pada 19 September 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengirim surat kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN, soal resiko gagal bayar utang PLN. Sebuah media besar online mengaitkan surat itu dengan “ramalan” Rizal Ramli dua tahun silam itu.
Barangkali, kata ramalan itu kurang pas, sebab sebagai seorang doktor bidang ekonomi yang gandrung pada rumitnya matematika dan fisika, pernyataan Rizal itu jelas bukan dari ilmu nujum, tapi berdasarkan hasil perhitungan ekonomi, berbasis data, dan selebihnya mungkin karena dia tahu banyak akan apa yang sesungguhnya terjadi.
Mungkin karena tahu banyak itu, dia juga menghentak publik dengan hal yang mungkin sudah lama kita tahu, tentang bahaya perselingkuhan kekuasaan dengan bisnis. Peringatan serupa sering kita dengar dari banyak pengamat.
Bedanya adalah Rizal mengingatkan soal ini justru ketika dia sedang berada dalam kekuasaan. Bobot keyakinan pendengar tentu lebih besar. Penguasa, kata dia, sama mulianya dengan pengusaha. Sayang, lanjut Rizal, begitu keduanya dirangkap atau menyatu menjadi PengPeng, seringkali yang terjadi adalah malapetaka. Dia memang tidak menyebut nama, dan membiarkan publik mencari kebenaran sendiri soal benar tidaknya perselingkuhan itu.
Sekian pernyataan Rizal Ramli yang seringkali menghentak, hanya bisa dipahami dengan cara memahami jalan pikirannya. Bahwa kekuasaan harus lepas dari interest pribadi, ekonomi pro rakyat, nasionalisme ekonomi, dan bermitra dengan negara lain dalam posisi yang setara.
Bagi Rizal, negeri ini tentu saja memerlukan investasi, memerlukan barang impor, tapi membantu para pelaku ekonomi lokal adalah hal yang utama, bukan saja demi memperkuat tumpuan ekonomi nasional, tapi sekaligus meletakkan batu lompatan terbaik bagi sekian generasi di kemudian hari.
Mungkin itu pulalah sebabnya, Rizal keras mengingatkan pemerintah soal Daftar Negatif Investasi (DNI) pada November 2018, meski terlihat dia tetap berusaha realistis. Untuk usaha yang perlu teknologi tinggi dan modal besar, katanya, memang sulit tanpa melibatkan asing, tapi mempersilahkan asing masuk di usaha kecil dan menengah, jelas sudah kebablasan.
Tanggal 3 Juli 2019, misalnya, dia menyoroti nasib PT Krakatau Steel, perusahaan pabrik baja milik negara, yang terseok nasibnya justru di tengah gencarnya pembangunan infrastuktur. Seharusnya, kata Rizal, di tengah maraknya pembangunan infrastuktur, keuntungan Krakatau Steel bisa naik. “Tapi yang naik malah impor baja dari Tiongkok, yang harganya dumping dan aturan impornya dipermudah.”
Selama sekian hari, Rizal dikutip media dan tampil di televisi dan dengan keras mendesak pemerintah mendahulukan industri baja nasional. Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, juga mengeluhkan banyak produk hilir baja yang diimpor. Jika diteruskan akan membuat industri hilir ambruk dan pada akhirnya mematikan Krakatau Steel.
Setelah diberi arahan khusus oleh Presiden Joko Widodo, tanggal 28 Oktober 2019, kepada wartawan Menteri Perdagangan Agus Gumiwang menyampaikan, “Krakatau Steel diberi perhatian agar mereka bisa berkompetisi di market.”
Rizal mungkin saja, atau terkadang menyampaikan kritik dengan cara yang membuat kita terhenyak. Lugas. Tanpa bungkusan. Melukai perasaan dua tiga orang, tapi jika melihat lebih dalam kritikanya nothing personal, substansinya adalah tentang betapa perlunya keadilan dan nasionalisme ekonomi.
Dan pada diri Rizal Ramli, itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Bukan mendadak nasionalisme. Sudah mengkristal pada jiwa raganya semenjak mahasiswa, yang untuk itu bersama sejumlah kawan mudanya, menjalani hari-hari penuh nestapa dalam jeruji besi, Sukasmiskin.
Oleh Woworuntu Manalo, Pemerhati Sosial