Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
APA bedanya rakyat miskin di masa sebelum kemerdekaan dengan rakyat miskin zaman sekarang?
Dulu rakyat umumnya hidup miskin, tapi tidak ditipu oleh para pemimpinnya.
Sekarang mayoritas rakyat miskin, tapi uang negara dikorup. Ketidakadilan makin meriah, nepotisme, kolusi, dan kebohongan kian semarak, praktek politiknya bagaikan pasar malam dimana transaksi uang diutamakan.
Intelektual Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan marah besar waktu ada ekonom kolonial mengatakan, rakyat cukup hidup dengan biaya sebenggol sehari.
Sebenggol sama dengan dua setengah sen gulden sehari. Jauh dari kelayakan hidup saat itu, yang apabila digambarkan dengan kesulitan hidup rakyat di lapisan bawah saat ini, sama saja tertekannya.
Tertekan oleh harga-harga kebutuhan seperti harga BBM, tarif listrik, kontrak rumah, ongkos angkutan umum, biaya pendidikan, dan sembako buat makan sehari-hari.
Kenyataan pula banyak rakyat di lapisan bawah saat ini yang tiga kali sehari hanya mampu makan mie instan sebagai pengisi perut anak-bini.
Hatta, Sukarno, dan lain-lain waktu itu marah sekali. Maka proteslah Sukarno melalui artikelnya, berjudul:
“Orang Indonesia Cukup Nafkahnya Sebenggol Sehari?”.
Tulisan Sukarno ini sampai sekarang masih mudah ditemui di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
Kalau dulu rakyat dianggap cukup hidup dengan biaya sebenggol sehari, hari ini rezim perkibulan bagi-bagi BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang kalau dihitung ternyata jumlahnya lima ribu perak alias cuma goceng doang untuk sehari.
Menurut tokoh nasional Rizal Ramli, pemberian BLT setelah kenaikan harga BBM esensinya hanya untuk pencitraan seolah pemerintah baik hati kepada rakyat.
Sebab, menurutnya, angka BLT BBM yang hanya 600 ribu perak untuk empat bulan sangat tidak cukup buat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Dapatnya cuma Rp600 ribu dalam empat bulan. Satu bulan dapat Rp150 ribu. Jadi satu harinya Rp5 ribu” tandas Rizal Ramli.
BLT BBM tentu tidak bisa mencukupi biaya hidup sehari-hari. “Bagaimana dengan uang Rp 5 ribu per hari bisa mengentaskan kemiskinan? Buat ongkos transportasi saja tidak cukup,” ujarnya.
Rizal Ramli menjelaskan BLT BBM yang dibagikan pemerintah sebenarnya hanya 15 persen dana yang diambil pemerintah melalui naiknya harga BBM bersubsidi.
Dia menilai, BLT BBM hanya menguntungkan Jokowi dan para pejabat, karena seolah peduli kepada rakyat seusai menaikkan harga BBM bersubsidi.
“Jadi, ini sebetulnya alat untuk Pak Jokowi dan pejabat-pejabat untuk menaikkan popularitas. Alat kampanye, itu saja,” tegas ekonom senior ini.
[***]