Artikel ini ditulis oleh Adhie Massardi, budayawan.
Berita wafatnya Nano Riantiarno, budayawan pendiri Teater Koma, menyelinap di tengah kemasygulan publik atas tuntutan JPU penjara 12 tahun bagi Bharada E (Richard Eliezer). Ada benang merah budaya antara Nano dan Bharada E.
Saya punya dua sahabat budayawan sangat produktif mengisi pentas teater nasional. Pertama, tentu saja, (I Gusti Ngurah) Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, dan Norbertus Riantiarno atau biasa disapa Nano Riantiarno, yang bersama Teater Koma mengguncang panggung kebudayaan lewat opera-operanya seperti Opera Kecoak yang kocak tapi menohok.
Putu Wijaya dan Nano Riantiarno memang beda mazab. Karya-karya Putu, baik cerpen, novel, maupun teater banyak meneror mental, menggedor jiwa dan memutar-balik logika kita.
Sedangkan Nano lebih banyak mengajak kita menertawakan nasib, dengan cara membawa persoalan hidup yang pahit ke medan humor, dalam keriangan nyayian hidup. Karena itu bentuk paling cocok untuk ini adalah “opera” yang tidak terikat norma.
Itu sebabnya dibandingkan dengan Putu Wijaya (Teater Mandiri), pentas-pentas opera Teater Koma (Nano Riantiarno) bisa menembus batas publik, tak cuma penikmat kebudayaan yang puritan, tapi juga anak muda dari dunia pop, atau dalam isitilah sekarang, generasi milenial.
Tak heran jika pementasan Teater Koma bisa bertahan hingga 3 pekan, kadang masih diperpanjang beberapa hari, untuk nampung mereka yang ingin nonton tapi kehabisan waktu.
Era Kebuntuan Kebudayaan
Kejayaan pentas-pentas kebudayaan yang dibangun oleh WS Rendra (Bengkel Teater) mulai pertengahan tahun 1970-an mencapai puncaknya pada 1980-1990-an. Primadonanya memang Teater Koma yang didirikan Nano pada 1 Maret 1977.
Ketika itu, di seberang benteng otoritarianisme yang dibangun rezim Orde Baru, tumbuh masyarakat yang memelihara kejujuran dan kritisisme otentik yang dijaga kaum intelektual.
Beberapa nama monumental yang layak disebut antara lain KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Romo YB Mangunwijaya, Soetjipto Wirosardjono, Umar Kayam, WS Rendra, Prof Dr Mubyarto (UGM), dan Dr Sudjoko (ITB).
Mereka sering juga disebut budayawan karena memang sangat matang baik secara intelektual, spiritual maupun kultural. Habitat mereka kampus, di ormas keagamaan, dan kelompok kesenian. Tapi punya lahan yang sama dalam membangun masyarakat yang sadar budaya, menghormati kejujuran dan memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan (demokratis).
Itu sebabnya di masa itu kehidupan kesenian, baik yang bernuansa budaya (sastra, teater, film) maupun pop tumbuh subur. Sebab kesenian memang hanya bisa tumbuh dalam iklim kejujuran dan demokrasi.
Maka ketika kebohongan menjadi primadona, dan kejujuran bisa dipidana, kebudayaan dalam pengertiannya yang luas, akan menemui jalan buntu. Tidak bisa memantulkan ekspresi jiwa pada wajah masyarakat.
Dalam dua dasawarsa belakangan ini, tepatnya pasca reformasi (1998) dengan indikator diruntuhkannya pemerintahan KH Abdurrahman Wahid yang notabene produk asli reformasi, perkembangan kebudayaan mengalami setback secara meyakinkan.
Basis kebudayaan, yakni kejujuran, dikubur hidup-hidup oleh pragmatisme politik yang dikendalikan nafsu kekuasaan yang serakah. Keadaan kian menjadi-jadi dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Kreativitas yang Terpenggal
Kini kita tak bisa lagi menemukan budayawan-intelektual yang matang secara spititual dan kultural, seperti generasi Rendra dan Gus Dur. Meminjam istilah Mahfud MD, “malaikat pun bisa berubah mejadi iblis” ketika masuk dalam sistem politik seperti sekarang ini.
Itu sebab pada mulanya saya terkejut ketika jumpa Nano Riantiarno beberapa tahun lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dia ngeluh tak bisa berbuat apa-apa lagi. “Gue gak tahu mau bikin apa sekarang,” katanya gusar.
Saya terkejut karena orang paling produktif sekelas Nano bisa frustrasi. Tapi jangan salah, frustrasi Nano bukan frustrasi kehabisan gagasan. Dalam situasi (kebohongan menjadi primadona) seperti sekarang ini, “Apa pun yang kita bikin tidak ada manfaatnya,” katanya menjelaskan. Kesenian (kebudayaan) adalah produk kejujuran seniman.
Kebohongan, keonaran politik, permisifisme dan nafsu keserakahan yang liar secara bersama-sama memenggal kreativitas kebudayaan. Kegusaran Nano yang ngaku “tak bisa berbuat apa-apa” sekarang dijelaskan dengan sangat gamblang oleh Bharada E.
Bharada E alias Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua mengambil jalan berbeda dengan teman-temannya. Ia berani melawan arus besar kebohongan yang disutradarai majikannya, Jenderal Polisi bintang dua Irjen Ferdy Sambo.
Bharade E yang tidak matang secara intelektual, spiritual dan kultural berkeras memanggungkan kebenaran dan kejujuran di pentas pengadilan. Hasilnya, tidak ada apresisai memadai untuk semua perjuangannya. Dia tercengang!
Otoritas negara yang diwakili Jaksa Penuntut Umum tidak melihat kejujuran sebagai faktor kehidupan berbangsa dan bernegara yang penting. Maka dalam pandangan JPU Bharada E perlu dapat pencerahan tentang kejujuran di negeri ini.
Tidak seperti Bharada E, Nano dengan Teater Koma-nya paham iklim yang sedang berkembang di negeri ini sekarang. Maka daripada buang-buang energi angkat kejujuran ke pentas kehidupan, lebih memilih melakukan kontemplasi.
Selamat menyaksikan pentas kejujuran di akherat, Nano Riantiarno. Pentas kejujuran paling otentik di halaman Rumah Bapa.
[***]