KedaiPena.Com – Tren kekerasan terhadap anak di sekolah dan di satuan pendidikan masih terus saja berlangsung dalam beragam bentuk. Seperti kekerasan verbal, penghukuman fisik oleh guru, perundungan (bullying), tawuran pelajar, hingga penelantaran berupa pengabaian segenap potensi kecerdasan yang dimiliki oleh siswa.
Dari segi kuantitas dan kualitas (tingkat kekejian), kerap kali bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap siswa itu di luar dugaan dan para orangtua serta guru sebelumnya.
Demikian disampaikan Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (Jaranan) yang juga konsultan Kota Layak Anak dalam perbincangan dengan kedaipena akhir pekan lalu usai seminar pendidikan bertema “Membangun Sinergi Efektif Peran Orangtua dan Guru dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak yang Berprestasi dan Nihil Perundungan,†di SDIT/SMPIT Mentari Ciangsana, Bogor, belum lama ini.
Ia menyebut setidaknya ada lima tren kekerasan di sekolah yang terus menggejala dan hadir beberapa tahun belakangan ini. Pertama, kekerasan guru dan tenaga kependidikan terhadap siswa. Kedua kekerasan siswa terhadap siswa lainnya. Ketiga kekerasan murid terhadap guru yang akhirnya berujung pada kriminalisasi guru.
Keempat kekerasan orangtua siswa terhadap siswa, sebagaimana dialami seorang guru di Makasar tahun lalu. Dan kelima, berupa kekerasan kebijakan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap para siswa sekolah. Misalnya, dalam kasus betapa masih banyaknya siswa miskin yang seharusnya memperoleh kartu bantuan pendidikan dari pemerintah ternyata tidak memperolehnya.
“Padahal ada pelajar lain yang mendapatkannya. Sehingga menimbulkan kecemburuan dan kekecewaan atas perlakuan kebijakan diskriminaatif itu,” paparnya.
Lebih jauh Nanang mewanti-wanti pihak sekolah perlunya kewaspadaan ektra dan strategi jitu dan kreatif dalam menyelenggarakan proses mendidikan di sekolah, untuk memastikan terbentuknya anak-anak berkarakter mulia di tengah potensi ancaman yang semakin besar dan mengintai dengan rapat para siswa saat ini.
“Setidaknya ada delapan kluster ancaman serius dan nyata mengintai pelajar dan anak-anak Indonesia saat ini. Yakni kluster ancaman kekerasan, pornografi/Âpornoaksi/perilaku seksual menyimpang, paham intoleran, narkoba, perilaku salah terhadap anak, gaya hidup instan, penelantaran anak/penelantaran atas potensi kecerdasan anak, dan bencana alam,†sebutnya.
Sementara langkah yang bisa ditempuh pihak sekolah untuk menghapus, atau setidaknya menciutkan, delapan potensi ancaman serius di sekolah adalah dengan mengimlementasikan Sekolah Ramah Anak (SRA), sebagai bagian integral dari implementasi kebijakan Kota Layak Anak (KLA).
“Untuk mengimplementasikan Sekolah Ramah Anak, maka sinergi atau kerjasama kreatif dan produktif antara guru dan tenaga kependidikan dengan para orangtua siswa wajib adanya. Demikian juga sinergi yang baik antara pihak sekolah dengan lingkungan sekitar sekolah dan pemerintah yang berada di leading sector pendidikan,†jelasnya.
Pentingnya sinergi antara orangtua dengan guru, urai Nanang, adalah dalam rangka untuk memastikan proses pendidikan terhadap anak yang berlangsung di sekolah dengan yang berlangsung di lingkungan keluarga berada pada sebuah frekuensi misi dan visit yang sama, yang mengarah pada proses pengembangan seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki anak secara progresif.
Bentuk-bentuk sinergi efektif antara guru dan orangtua siswa yang bisa dikembangkan banyak sekali. Dan Jaranan sendiri, sebagaimana diakui Nanang, memiliki konsep bagi terbentuknya sinergi efektif antara guru dan orangtua siswa.
Namun di atas bentuk-bentuk sinergi itu, yang terpenting adalah metode pendidikan yang diterapkan oleh para guru di sekolah dan para orangtua di rumah haruslah metode yang baik.
“Saya merekomendasikan metode untuk diterapkan di sekolah oleh para guru adalah ‘hypnoteaching’. Sementara metode pendidikan dan pengasuhan di rumah untuk para orangtua di rumah adalah ‘hypnoparenting’,†tandasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh