KedaiPena.com – Naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia dinyatakan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena akan mempengaruhi tingkat kemampuan masyarakat untuk bertransaksi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan naiknya suku bunga acuan BI akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga dengan pelemahan pertumbuhan sebesar 0,5 hingga 0,75 persen pada tahun ini, jika dibandingkan skenario tanpa naiknya bunga acuan.
“Pertumbuhan ekonomi juga berisiko alami tekanan bersumber dari gangguan pada realisasi investasi karena naiknya cost of fund dan tekanan pada konsumsi kelas menengah,” kata Bhima melalui keterangan tertulis, Senin (26/9/2022).
Untuk menjaga dampak kenaikan suku bunga acuan BI, ia berharap pemerintah dapat melakukan beberapa kebijakan penyesuaian. Seperti, menaikan bantuan subsidi uang muka perumahan dan juga menaikan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi Rp40 triliun hingga Rp50 triliun dari anggaran saat ini yang sebesar Rp21,5 triliun.
“Bantuan FLPP ini akan sangat bantu masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah ditengah naiknya bunga acuan,” ujarnya.
Bhima juga menyarankan agar pemerintah menurunkan tarif bunga Kredit Usaha Rakyat hingga 2 persen, karena tarif saat ini sebesar 5 persen sangat memberatkan. Terlebih untuk kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Kemudian, untuk tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga disarankan turun menjadi 8 persen dari yang saat ini sebesar 11 persen. Penurunan tarif PPN ini lanjutnya akan membantu meringankan beban mulai dari masyarakat kelas bawah miskin dan rentan hingga masyarakat kelas menengah.
“Karena kebijakan tarif PPN menyasar ke semua masyarakat. PPN juga bisa mengurangi harga konsumen dan bisa mengurangi dampak inflasi,” ujarnya lagi.
Adapun Bhima menilai, pemberian sejumlah bantuan dan insetif yang akan diberikan tahun depan harus dipertimbangkan dengan baik, dengan mengutamakan target sasaran yang lebih segmented mengingat kebutuhan fiskal saat ini terbatas.
Misalnya saja pada sektor-sektor usaha yang mengalami tekanan pada daya belinya seperti di sektor ritel, makanan dan minuman, elektronik, hingga properti. Pun bantuan untuk sektor UMKM dan padat karya.
“Bantuan subsidi upah (BSU) perlu lebih di perluas lagi dan tidak hanya menyasar pada kelompok kerja formal saja, dan target sasarannya diperlebar hingga penerima gaji di bawah Rp5 juta. Idealnya BSU diberikan sebesar Rp1 juta per bulan kepada satu penerima, jika pemerintah ingin memberikan bantuan kepada masyarakat kelas menengah agar daya beli mereka tetap terjaga,” kata Bhima.
Selain itu, lanjutnya, pekerja informal juga banyak belum mendapatkan BSU, karena yang bersangkutan bukan pekerja upahan atau dibayar per bulan.
“Seperti pekerja dengan upah harian, buruh bangunan. Mereka tidak mempunyai BPJS ketenagakerjaan. Mereka harus dimasukan kedalam target penerima BSU,” tuturnya.
Bhima juga menyarankan agar defisit anggaran tahun depan diperlebar lagi untuk menjaga stimulus ekonomi melalui perlindungan sosial dan bantuan UMKM.
“Akan tetapi dengan catatan bukan diperlebar untuk belanja mega proyek dan beban birokrasi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa