KedaiPena.com – Legislator Partai Golkar menyebutkan perlu ada pemahaman semua pihak bahwa penghapusan subsidi atau pengurangan subsidi pada satu sektor, misalnya BBM, tidaklah menghilangkan anggaran subsidi-nya. Tapi mengalihkan anggaran tersebut pada sektor yang lebih tepat sasaran.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai Golkar, Maman Abdurahman menyatakan sebagai anggota DPR RI, ia melihat fenomena harga BBM ini merupakan kesalahan yang sudah berlangsung selama 20 tahun.
“Ada kesalahan dalam memaknai, apa makna subsidi. Subsidi itu bukan bantuan, seperti yang dipahami selama ini. Subsidi itu merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam mendorong masyarakat tidak mampu agar memiliki daya beli,” kata Maman, Jumat (26/8/2022).
Karena kesalahpahaman ini lah, skema subsidi yang selama ini diaplikasikan adalah subsidi pada barang.
“Contohnya, subsidi Solar dan Pertalite. Yang terjadi adalah disparitas harga pada satu barang. Harga Solar Subsidi Rp5 ribu, bandingkan dengan Solar Industri yang mencapai Rp20 ribu. Disparitas Rp15 ribu ini memancing semua oknum yang ada di Indonesia, untuk bermain. Muncul lah yang namanya truk zombie, yang menjadi modus pembelian Solar Subsidi untuk di jual lagi,” urainya.
Hingga, lanjutnya, perlu didorong untuk merubah definisi subsidi, bukan lagi barang tapi menjadi orang.
“Kalau orangnya yang di subsidi kan kita meminimalisir kemungkinan munculnya para pemain,” urainya lagi.
Maman menegaskan bahwa naiknya harga BBM Subsidi bukan berarti subsidi yang diberikan pemerintah akan menghilang.
“Kita bicara substitusi ya. Kalau awalnya di BBM-nya, nanti anggaran subsidi-nya akan dialokasikan ke sektor yang lebih tepat,” kata Maman.
Ia juga menyampaikan bahwa semua pihak perlu menyadari bahwa subsidi yang selama ini bergulir dari pemerintah lebih banyak dinikmati oleh ‘para penghisap darah rakyat’.
“Faktanya, di daerah Dapil saya, Kalimantan Barat, BBM Subsidi itu di harga Rp13 ribu. Yang dapat lebihannya ya para pemain itu, para-para tengkulak di bawah,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa