KedaiPena.com – Meningkatnya PPN menjadi 11 persen, dianggap semakin memberatkan masyarakat kecil dan tidak memiliki rasa keadilan. Karena di saat masyarakat masih tertatih bertahan paska pandemi, lalu dihadapi dengan kenaikan barang pokok dan BBM Pertamax, kini harus menghadapi dampak dari kenaikan PPN, yang katanya kecil, hanya 1 persen.
Direktur Eksekutif IDEAS Yusuf Wibisono menyatakan kenaikan PPN menjadi 11 persen dan 12 persen pada 2025 adalah kebijakan jalan pintas untuk meningkatkan penerimaan negara yang minim.
“PPN 10 persen sudah bertahan sekitar 4 dekade, sejak 1983. Jadi pemerintahan Jokowi ini adalah rezim pertama yang menaikkan tarif PPN sejak zaman orde baru,” kata Yusuf saat dihubungi, Sabtu (9/4/2022).
Ia menyebutkan, pada masa pemerintahan Joko Widodo, tax ratio turun dari kisaran 11 persen dari PDB menjadi kisaran 8 persen dari PDB.
“Dua kali tax amnesty yang dilakukan pemerintah di era presiden Jokowi tidak mampu mendongkrak tax ratio. Padahal tekanan pengeluaran sangat besar, termasuk proyek mercusuar IKN, sedangkan pada 2023 defisit anggaran harus kembali ke 3 persen dari PDB. Menaikkan PPN menjadi jalan pintas,” urainya.
Yusuf juga menyampaikan kebijakan kenaikan PPN menjadi 11 persen ini berisiko tinggi.
“Karena timing-nya dilakukan saat bulan Ramadhan dimana banyak kebutuhan pokok harganya naik dan bersamaan pula dengan kenaikan Pertamax. Lebih jauh sebelum PPN naik ini, masyarakat juga sudah babak belur dengan kenaikan harga minyak goreng,” urainya lagi.
Ia menegaskan kenaikan PPN tidak bisa dipandang kecil meski secara nominal hanyak naik dari 10 persen jadi 11 persen.
“Namun karena berlaku masif ke hampir semua barang dan jasa, secara psikologis akan memberi tekanan pada kenaikan harga barang secara umum. Dan yang menanggung beban kenaikan PPN ini adalah konsumen, bukan pengusaha. Tekanan pada kenaikan harga dan daya beli masyarakat tidak akan ringan. Terlebih banyak barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan kena kenaikan PPN 11 persen ini seperti pakaian, sabun, hingga pulsa internet. Kenaikan PPN 11 persen ini berisiko tinggi pada inflasi dan daya beli masyarakat, tidak sebanding dengan kenaikan penerimaan negara,” papar Yusuf.
Upaya mengejar kenaikan penerimaan negara melalui kenaikan PPN ini juga menjadi ironi karena di saat pandemi pemerintah justru mengobral PPN seperti dengan memberi pembebasan PPnBm hingga 0 persen untuk produk otomotif, yang secara jelas hanya dinikmati kelas atas.
“Kenaikan PPN saat ini jelas akan segera dipandang menjadi langkah yang sangat tidak berkeadilan,” kata Yusuf dengan tegas.
Laporan: Natasha