KedaiPena.Com – ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan‘. Begitulah bunyi point ke 4 dari pancasila yang sekarang mulai dilupakan.
Ya, dalam perjalanannya permusyawaratan dalam perwakilan pelan-pelan terlupakan dan ditinggalkan dalam norma-norma kehidupan masyarakat dan bernegara Indonesia. Sistem ini tergantikan dengan cara voting.
Namun hal tersebut nampaknya tidak berlaku bagi masyarakat Baduy Dalam yang masih melakukan cara untuk bermusyawarah mufakat dalam memilih pemimpin atau kepala adat.
“Kepala adat dipilih secara musyawarah,” ujar Pardi salah satu kepala keluarga di Baduy Dalam kepada KedaiPena.Com, Senin, (22/7/2019).
Pardi menjelaskan kepala adat di Baduy Dalam pun tidak ditentukan oleh waktu masa jabatan. Biasanya, mereka digantikan ketika ia ingin mundur.
Biasanya keinginan mundur disertai tanda-tanda khusus. Makanya dalam bermusyawarah adat, pihak-pihak terlibat harus ikhlas lahir dan batin.
Tidak hanya itu, Pardi melanjutkan, dalam menetapkan tanah kosong untuk dijadikan sebuah rumah bagi masyarakat Baduy juga ditentukan melalui musyawarah mufakat.
“Kita musyawarah mufakat kalau ada tanah kosong. Biasanya itu Lingkungan tanah adat dan tanah itu ada batas- batasnya,” beber Pardi.
Pardi mengungkapkan bahwa musyawarah mufakat juga dilakukan ketika di Baduy Dalam ingin melaksanakan sebuah acara adat.
“Itu termasuk dalam acara pernikahan,” ujar Pardi.
Tentunya apa yang diterapkan di Baduy Dalam, Desa Cibeo berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi saat ini kepada masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka jauh lebih senang memilih menggunakan voting dalam melakukan apa pun.
Tidak hanya itu, perdebatan pun menjadi hal yang dikedepankan oleh mayoritas rakyat Indonesia saat ini.
Belajar Hidup Tenang Dari Masyarakat Baduy
Selain mengedepankan nilai-nilai musyarawah dalam kehidupan, masyarakat Baduy Dalam hidup dengan tenang dan jauh dari hiruk pikuk keramaian atau tren ibu kota.
Hal tersebut terlihat dari keseharian Pardi beserta keluarga. Teknologi seperti telepon genggam yang biasanya menjadi kebutuhan hidup masyarakat nampak tidak terlihat di keluarga Pardi.
Ia beserta keluarga dan beberapa anaknya bahkan dalam menjalani keseharian tanpa alas kaki. Hal tersebut dilakukan anak-anak Pardi yakni Sailin dan Jali ketika mengantar tamu dari terminal Ciboleger ke Baduy Dalam.
Para wisatawan benar-benar dilarang untuk mengambil gambar di dalam Baduy Dalam. Tentunya ini kembali menjadi refleksi dalam berkehidupan masyarakat Indonesia yang seharusnya bisa jauh lebih tenang dalam menjalani hidup.
Laporan: Muhammad Hafidh