KedaiPena.com – Pengamat Pangan APEGTI, Nur Jafar Marpaung menyatakan pesimis, Indonesia dapat menghilangkan mekanisme impor gula.
“Kalau dibilang, tahun 2023 Indonesia akan berhenti mengimpor gula, itu mustahil. Walaupun banyak pabrik gula yang dibangun,” kata Nur Jafar, Senin (2/1/2022).
Karena, walaupun banyak yang dibangun, yang ditutup pun banyak.
“Bahkan, untuk mengurangi jumlah impor pun, saya masih pesimis. Karena setiap tahun begitu saja kejadiannya,” urainya.
Ia menyatakan selain karena petani tidak mau lagi untuk menanam tebu, karena tidak menguntungkan bagi para petani, juga karena impor gula lebih menguntungkan.
“Tentu saja, keuntungannya importir lah yang mendapatkan. Sementara para petani tebu kita, lebih memilih untuk menanam tumbuhan lain yang lebih menguntungkan,” urainya lagi.
Nur Jafar menjelaskan biaya produksi mulai dari pembelian gula mentah (Raw Sugar) sebagai bahan baku pembuatan GKR ditambah dengan ongkos transport, asuransi, dan pengolahan senilai 200 Dollar Amerika per ton, maka harga di pabrik gula rafinasi menjadi 525,6 Dollar Amerika per ton.
“Dengan kurs tengah Bank Indonesia (BI) sebesar Rp14.572 per Dollar Amerika, maka harga per kilogram adalah Rp7.959. Jika pemerintah menugaskan pabrik gula rafinasi menjual langsung ke pasar, setidaknya keuntungan yang diperoleh mencapai Rp2 ribu per kilogram,” kata Nur Jafar.
Ia menyatakan harga untuk industri besar tentu saja lebih murah karena kontrak langsung dan mereka mengikuti pergerakan harga dunia, namun keuntungannya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan menjual langsung ke pasar lewat distributor.
“Dengan produksi kesesebelas pabrik gula rafinasi yang ada di Indonesia yang sekitar 3 juta ton, maka keuntungan totalnya adalah Rp6 triliun. Jika dirata-ratakan, berarti setiap pabrik menikmati laba sebesar Rp545 miliar,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa