Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di zaman pergerakan dulu, para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan terbagi dalam tiga golongan: pemuda militan, pemuda radikal, dan pemuda revolusioner.
Esensinya ketiga kelompok ini berjuang dengan totalitas, inisiatif, fokus, dan setia pada garis perjuangan.
Itulah sebabnya setelah kemerdekaan ketika sebagian dari mereka masuk ke dalam kekuasaan, yaitu pemerintahan Republik yang baru terbentuk, dengan menjadi pejabat misalnya, umumnya mereka tetap konsisten dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Jabatan mereka jadikan alat perjuangan untuk mengubah kondisi bangsa dan negara agar menjadi lebih baik. Sehingga umumnya mereka ialah person of character (insan yang berwatak) yang
tidak dirusak oleh financial capital yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti sekarang.
Umumnya mereka juga berpandangan maju (enlightened) dan mampu membaca jiwa bangsa dengan tidak berpura-pura merakyat. Mereka menjadikan kepemimpinan sebagai pengabdian, yang dengan sadar menempuh Via Dolorosa, yang dalam ungkapan Belanda dikatakan “Leiden is Lijden”, memimpin adalah menderita.
Bagaimana aktivis Reformasi Mei ‘98, yang momentum gerakannya pada bulan ini genap 25 tahun?
Kenapa reformasi yang dimotori oleh kalangan pro demokrasi dan para mahasiswa yang dimaksudkan untuk membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik dan demokratis kini kandas, dan malah menyeret negeri ini ke dalam berbagai kehancuran?
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang juga merupakan tokoh pergerakan mahasiswa 1978, menjelaskan secara sederhana.
Menurutnya, musim semi demokrasi setelah kejatuhan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun sebenarnya sempat terjadi di saat era pemerintahan Habibie dan Gus Dur (1998-2001).
Indikatornya antara lain saat itu diberlakukan kebebasan terhadap pers yang sebelumnya dibelenggu oleh Soeharto, anggota DPR berani bersikap kritis, diberlakukan pula kebijakan desentralisasi, hingga kondisi perekonomian nasional dapat pulih dari minus 13 persen menjadi plus 4 persen dengan gini index ratio terendah.
“Dalam waktu empat tahun (1998-2001) itulah terjadi masa emas atau honeymoon demokrasi di negeri ini,” tandas Rizal Ramli.
Musim semi demokrasi ini, lanjutnya, kemudian berlanjut memasuki fase stabilisasi demokrasi pada saat pemerintahan Megawati dan kemudian SBY dengan segala macam pasang surutnya.
Pada fase ini misalnya terjadi upaya penguatan terhadap lembaga penegakan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun era musim semi demokrasi dan fase stabilisasi demokrasi yang mulai tumbuh ini hancur dengan munculnya rezim baru hasil Pilpres 2014, yang bercampur dengan menguatnya kepentingan oligarki.
Boleh dibilang sejak Indonesia merdeka belum pernah oligarki sangat berkuasa seperti di era sekarang. Hal ini tidak terjadi pada masa Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
“Sejak era Jokowi, mulai tahun 2014, terjadi pembalikan terhadap reformasi atau terjadi proses deformasi,” kata Rizal Ramli menjelaskan.
Deformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah perubahan bentuk atau perubahan wujud dari yang baik menjadi tidak baik.
Di era deformasi seperti saat ini, lanjut Rizal Ramli, demokrasi di negeri ini mengalami kemerosotan drastis, Undang-undang ITE dijadikan alat untuk menangkap pihak-pihak yang berbeda pendapat, KPK dilemahkan, praktek KKN semakin vulgar, ganas dan masif serta dipertontonkan tanpa malu.
Di sisi lain perekonomian nasional lebih banyak mengutamakan kepentingan oligarki, jumlah orang miskin kini mencapai 40 persen, KUHP diubah menjadi otoriter, hingga mengutang secara ugal-ugalan.
“Jokowi juga membangun dinasti bisnis dan dinasti politik, menjinakkan DPR dengan cara mengkooptasi para ketua umum partai, sehingga fungsi pengawasan DPR lumpuh. Sedangkan Ketua MK yang dijabat ipar Jokowi berubah jadi Mahkamah Keluarga,” papar Rizal Ramli.
Intinya, di era pemerintahan saat ini pelanggaran etika hukum dan conflict of interest sangat kuat. BuzzersRp digunakan untuk menyerang pribadi yang bersikap kritis. Sedangkan SurveyRp atau Sure-pay dipakainya untuk merusak demokrasi.
“Deformasi dan demokrasi ala Sure-Pay semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita kemerdekaan. Ibarat handphone yang terus error, pilihannya hanya total reset atau ganti handphone,” tandas Rizal Ramli.
Ia menggambarkan kekuasaan rezim hari ini sudah seperti matahari yang mau tenggelam dan diliputi kegelapan. Indonesia kini membutuhkan matahari baru, yaitu sistem seleksi kepemimpinan nasional yang benar-benar kompetitif dan amanah yang bukan berbasis pada pencitraan.
Matahari akan tenggelam seperti halnya juga kekuasaan tidak ada yang abadi, dan hukum Tuhan akan berlaku bagi penguasa yang jahat terhadap rakyatnya, seperti terungkap dalam petuah Jawa:
Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, kebenaran dan cinta kasih akan menang terhadap kekuatan yang merusak.
[***]