SAYA jadi teringat saat menjadi Kepala BNP2TKI. Pada saat rapat yang dipimpin Menko Kesra, saya mengatakan bahwa melihat cara Pemerintah menempatkan TKI selama ini, maka tidak ubahnya seperti pedagang orang tetapi berlogo Garuda. Karenanya saat itu saya berkomitmen agar keburukan yang telah mapan puluhan tahun itu harus dirombak total.
Sejarah kelembagaan Pemerintah dalam urusan TKI, pada awal 80-an hingga awal tahun 90-an ketika urusan TKI masih sedikit dan masalahnya sederhana dirasa cukup digawangi oleh pejabat Eselon IV di Departemen Tenaga Kerja.
Kemudian pada tahun 1993 saat jumlah TKI semakin meningkat dibentuklah Direktorat Ekspor Jasa setingkat Eselon II di Departemen Tenaga Kerja dan Eselon III di daerah-daerah. Selanjutnya, ketika masalah TKI semakin banyak baik karena jumlahnya semakin melimpah dan kasusnya semakin beragam, maka pada tahun 2001 dibentuklah Ditjend Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri setingkat Eselon I di Departemen Tenaga Kerja.
Ternyata, kelembagaan Ditjend ini masih kewalahan mengurus jumlah TKI yang semakin meningkat, jumlah negara tujuan semakin banyak dan tingkat permasalahan semakin kompleks di sertai dengan semakin maraknya kejahatan perdagangan dan penyelundupan manusia.
Karenanya saat Megawati menjadi Presiden membentuk UU No. 39 tahun 2004 yang isinya antara lain bahwa urusan TKI dikelola oleh Badan khusus di bawah Presiden dengan nama BNP2TKI di mana para pejabatnya terdiri dari berbagai unsur Kementerian lain seperti wakil dari Keimigrasian, Kemenkes, Kemenlu, Kemendagri dan sebagainya termasuk unsur Kepolisian agar koordinasinya semakin kokoh dan menghilangkan ego sektoral.
Bila sekarang Pemerintah akan menjadikan Badan yang mengurus TKI dikembalikan di bawah Menteri Tenaga Kerja, maka jelas ini penyangkalan terhadap realitas dan sejarah, sekaligus berbahaya karena daya dukung manajemen yang pasti tidak sebanding dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga dapat dipastikan TKI akan menjadi korban.
Menyederhanakan manajemen, bukan berarti menghilangkan aturan-aturan yang bisa jadi sangat penting bagi perlindungan TKI. Bila kebijakan perlindungan tidak diikat dalam suatu undang-undang tetapi diserahkan “semau” Pemerintah, maka ini akan menjadi tahap awal dari maraknya perdagangan manusia.
Dengan alasan-alasan itulah, maka usulan Pemerintah menjadikan Badan yang mengurus TKI cukup di bawah Menteri Tenaga Kerja, jelas sebagai suatu kemunduran dan karenanya harus ditolak DPR. Sebaliknya, DPR justru harus memperkuat peran Badan yang mengurus TKI seperti apa yang pernah menjadi wacana luas agar Badan tersebut seperti yang ada di Filipina POEA (Philippines Overseas Employment Administration) yang memiliki wewenang penuh dalam menyelenggarakan tenaga kerja luar negeri.
Sebaliknya, bila Badan TKI dikembalikan di bawah Menteri Tenaga Kerja, maka saya bisa pastikan kelak akan terjadi lagi “Pemerintah adalah pedagang orang tetapi berlogo Garuda”. Korbannya sekali lagi adalah manusia-manusia lugu yang akan menjadi santapan lezat para pedagang dan penyelundup manusia.
Oleh Moh Jumhur Hidayat, Wakil Ketua Umum KSPSI dan Mantan Kepala BNP2TKI