BOLEHKAH MUI membuat pernyataan bahwa Ahok telah menistakan agama Islam dan menghina ulama? Bolehkan MUI bahkan lebih jauh lagi misalnya menyerukan umat Islam tak memilih Ahok, tapi memilih kandidat lain saja?
Inilah yang kini ramai di ruang publik. Secara resmi MUI membuat pernyataan yang ditanda tangani oleh ketua umumnya. Pernyataan itu memberi pesan bahwa setelah mempelajari kasus dengan cermat, MUI menganggap Ahok sudah menistakan Islam dan ulama, dalam kasus surat Al Maidah di kepulauan seribu.
MUI meminta masyarakat tidak main hakim sendiri. NAmun MUI juga meminta pemerintah menindak lanjuti kasus ini secara hukum.
Dalam pernyataan itu, MUI TIDAK Â membuat pesan jangan memilih atau menyarankan memilih kandidat tertentu.
JIka demokrasi modern yang menjadi rujukannya, jawabnya itu boleh dan sah saja. MUI dibolehkan oleh demokrasi modern untuk memberikan pandangan, himbauan sesuai dengan bidangnya, kepada umatnya. Ini bagian dari hak asasi yang dihormati dalam sistem demokrasi.
Tentu lembaga agama lain dibolehkan juga tidak setuju dengan MUI, dan boleh memberikan himbauan dan rekomendasi sebaliknya.
Yang penting tak ada pemaksaan gagasan di sana. Semua kemudian dikembalikan kepada masyarakat untuk mengambil sikap. Pemerintah juga harus tegas membolehkan keragaman respon, dan melarang sisi kriminalnya saja.
MUI bukan lembaga pemerintahan. Hanya lembaga pemerintahan  yang diharuskan netral.
Melarang MUI bersikap, atau melarang lembaga lain bersikap sebaliknya, itu melanggar hak asasi, dan mencederai sistem demokrasi, baik di tingkat konsep ataupun praktek.‎
Marilah kita lihat apa yang terjadi dalam praktek agama dan politik di Amerika Serikat saat ini. Kebetulan kini di saat yang sama sedang berlangsung pemilu presiden yang sangat hot antara Donald Trump dan Hillary Clinton.
Om Google mempermudah kita melihat apa yang terjadi di sana. Kita lebih mudah mencari dan membaca sendiri bagaimana demokrasi modern itu dipraktekkan.Â
The American Renewal Organisation, organisasi agama konservatif di Amerika secara terbuka menyatakan pilihan politiknya. Seperti diberitakan Washington Post, 10 May 2016, David Lane, pemimpinnya, menulis surat (email) kepada 100.000 pastor.Â
Surat itu secara jelas menghimbau para pastor untuk memilih Donald Trump. Dibandingkan dengan Hillary, Donald Trump dianggap lebih bisa mewakili nilai kristiani. Sementara Hillary berdasarkan rekornya lebih banyak memajukan agenda yang terlalu sekuler (Godless agenda).
Namun di saat bersamaan, pemimpin agama lain juga dibolehkan bersikap sebaliknya. Sebanyak 60 pemimpin kristen berkoalisi membuat pernyataan terbuka. Atas nama ajaran Kristiani, Donald Trump harus ditolak. Dengan sendirinya Hillary Clinton menjadi pilihan. Alasannya, karakter dan rekor Donald Trump jauh dari yang diajarkan prinsip kristiani.
Dua kubu yang sama sama ahli agama kristen, sama sama ingin mendasarkan diri pada injil, bersikap bertentangan soal rekomendasi pilihan presiden. Semuanya oke saja dan sah saja.
Sistem demokrasi membolehkan masing masing kelompok agama bukan hanya membuat pernyataan, tapi mengkampanyekan.
Mengapa para pemimpin agama dibiarkan berpolitik? Tidakkah ini berbau SARA? Mengapa mereka selaku pemimpin umat tidak netral? Tidakkah nanti Amerika akan pecah karena isu SARA itu?
Demokrasi dalam konsep ataupun praktek, hanya bisa berjalan dengan memberikan kebebasan warganya untuk berpendapat dan mempengaruhi orang lain. Ketika pemilihan umum dipilih, semua yang terlibat dibolehkan mengkampanyekan agendanya.
Semua pihak dibolehkan melakukan manuver untuk menang dan kalah dengan aneka cara yang dibolehkan aturan demokrasi modern dan hak asasi. Setelah itu biarkan rakyat yang memilih secara bebas.
Dasar dari kebebasan dalam demokrasi modern adalah filsafat yang diungkapkan secara indah oleh Voltaire: Saya tak setuju pendapat tuan, namun hak tuan menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati.
Kita boleh saja tak suka agama dijadikan dasar memilih atau menolak Trump. Namun kita tak boleh melarang mereka mengkampanyekannya.Â
Ruang publik milik bersama. Aneka gagasan yang bertentangan dibolehkan dinyatakan bahkan dikampanyekan. Yang tak boleh adalah hate speech, fitnah, kekerasan, penghinaan dan aneka hal lain yang masuk dalam kategori hukum kriminal.
Ketika demokrasi dipilih, apa yang dibolehkan oleh praktek demokrasi jangan dilarang.‎
Agak aneh situasi di pilkada Jakarta hari ini. Reformasi sudah berjalan 18 tahun, tapi ideologi Orde Baru soal SARA masih menghantui. Celakanya ketakutan isu SARA itu juga melanda the so called para pejuang kebebasan, keberagaman, diskriminasi, dan lain-lain.‎
Seolah yang boleh dibicarakan dan dikampanyekan hanya program saja. Seolah isu SARA itu porno, tak boleh dibicarakan terbuka. Isu SARA itu “jijik” dan ingin disembuyikan di bawah permadani.
Larangan isu SARA itu memang satu paket dengan ideologi otoritarian model Orde Baru. Pemerintah yang lebih tahu apa yang boleh dan tidak. Warga harus ikut saja. Juga mungkin saat itu, isu SARA dianggap membahayakan NKRI.
Celakanya mitos SARA itu diteruskan sampai kini. Bahkan diyakini pula oleh mereka yang merasa memperjuangkan kebebasan.
Padahal keberagaman yang diperjuangkan harus berangkat dari satu prinsip toleransi. Yaitu menoleransi warga tak hanya beragam soal keyakinan agamanya, tapi juga beragam soal motif memilih pemimpin.
Ada warga memilih pemimpin karena program. Ada warga memilih pemimpin karena karakter. Atau warga memilih pemimpin berdasarkan keyakinan agama. Dan sebagainya dan sebagainya.
Hak asasi dan demokrasi membolehkan semua itu. Silahkan masing masing meyakinkan publik.
Itu sebabnya dalam buku teks mengenai voting behavior, dikenal keragaman prilaku pemilih. Itu riset yang merekam prilaku pemilih di seluruh dunia.
Menyeragamkan prilaku pemilih hanya boleh memilih karena  program saja bertentangan dengan prinsip kompleksitas dunia modern. Dunia tak hanya berisi roti dan program saja.‎
Apakah isu SARA itu akan membuat Indonesia pecah? NKRI terancam? Inilah gaya menakut-nakuti yang diwariskan sejak Orde Baru, dan diteruskan pula hingga 18 tahun reformasi.
Membiarkan warga mengekspresikan gagasannya, bahkan yang berbasis agama sekalipun, justru bagus buat pemimpin. Yang penting pemerintah tegas memisahkan mana yang kriminal mana yang bukan. Yang harus dilarang dengan keras hanya sisi kriminalnya; hate speech, fitnah, kekerasan, pemaksaan, bukan isi gagasannya.
Jika mobilisasi politik aliran dibiarkan, sejauh dalam koridor bukan kriminal, dan pemerintah tegas menerapkannya, justru itu lebih baik untuk Indonesia.Â
Ke depan, pemimpin akan lebih peka terhadap warga yang dipimpinnya. Pemimpin dipaksa untuk membuka mata: bahwa ia tak hanya memimpin gedung dan Kali Ciliwung. Ia juga memimpin manusia dengan segala subyektivitasnya.
Tentu saja NKRI tetap terjaga. Plus, sang pemimpin lebih berempati dengan apa yang dianggap penting oleh warga, seburuk apapun yang dianggap penting itu, sejauh dibolehkan oleh konstitusi, demokrasi dan hak asasi.
Oleh Denny JA, founder LSI‎