Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Wikipedia menjelaskan Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya. Tradisi ini memang hanya ada di Indonesia. Satu negeri muslim yang luas wilayahnya.
Mudik, pasti identik dengan Islam. Karena mudik, dilaksanakan saat menjelang hari Raya Idul Fitri. Mudik juga identik dengan tempat, yakni dari kota ke desa.
Wilayah Indonesia yang luas, memungkinan terjadi mudik. Kalau di Brunei Darussalam yang seuprit, tak mungkin terjadi tradisi mudik walaupun mayoritas muslim. Wilayah Indonesia yang mayoritas muslim, juga menjadi faktor terjadinya Mudik. Mudik, tak mungkin terjadi di Singapura yang mayoritas non muslim.
Mudik, bukan sekedar pergerakan fisik. Tetapi juga pergerakan spiritual dan psikologi. Setiap anak rantau, tak akan mungkin lepas dari akar spiritual dan sejarah asalnya.
Mereka yang biasa hidup di kampung, lahir dan besar di kampung, ngaji di surau/langgar, melempar mangga tetangga, mengunyah rambutan yang masih hijau kekuningan, memanjat duku Pak Haji, memungut durian jatuh ditengah malam, bermain gobak sodor saat purnama, memancing belut di pematang sawah, memancing ikan di sungai dan di rawa, makan nasi kenduri, dan berbagai nostalgia di kampung, pasti tak akan bisa lupa pada kampung halaman meski hidup ditengah gemerlapnya ibukota. Entah apapun statusnya di kota, menjadi sukses atau menjadi anak tiri ibukota.
Mereka, yang tak akan lupa kue nastar, kue sagon, rengginang, dodol hingga tape ketan yang khas dihidang di hari raya. Mereka, yang biasa berburu THR, yang mengutamakan rumah yang memberi THR ketimbang yang lain, mengutamakan mengunjungi rumah yang makanannya lezat ketimbang yang lain.
Pulang kampung bukan sekedar pergerakan fisik, tapi juga pergerakan spiritual dan psikologi. Mengeja kembali setiap kisah dan peristiwa di kampung, dengan segala romantikanya. Bukan sekedar melepas rindu kepada orang tua dan anak saudara, bertemu teman dan handai taulan, tetapi seolah hidup kembali pada masa kecilnya masing-masing.
Sejatinya, manusia hidup juga merantau. Karena asal manusia adalah surga. Manusia tak boleh lupa, harus kembali ke surga, mengikuti kakek buyutnya Adam dan Hawa.
Namun, ketaatan pada syariah yang menjadi kunci bisa kembali ke surga, kini hilang diterjang badai sekulerisme. Hukum Allah SWT ditelantarkan, sementara hukum manusia diagung-agungkan.
Kedaulatan Allah SWT ditinggalkan, kedaulatan rakyat dijadikan panutan. Halal haram dikesampingkan, pragmatisme menjadi panutan.
Astaghfirullah,
Mungkinkah manusia bisa mudik ke surga, jika sepanjang hidupnya menelantarkan hukum Allah SWT? Apakah, surga akan menerima manusia yang bermaksiat kepada Allah SWT, enggan diatur dengan hukum Allah SWT, padahal Adam AS bisa kembali ke surga karena taubat dan kembali pada syariat-Nya?
Sebaiknya, bukan kepastian mudik ke kampung halaman yang kita khawatirkan. Tetapi kepastian untuk mudik ke surga, dan berjumpa dengan kakek buyut kita, Adam dan Hawa. Mari tinggalkan sekulerisme,tinggalkan demokrasi, kembali kepada Islam, kembali pada hukum Allah SWT, agar kita selamat di dunia, dan bisa mudik sampai ke Surga.
[***]