Ditulis Oleh Pengamat Politik S. Indro Tjahyono
ADA dua isu yang menjadi pergunjingan akhir-akhir ini, yakni presiden tiga periode dan penundaan pemilu. Tampaknya isu presiden tiga periode sudah tenggelam, karena mencederai demokrasi dan melawan marwah reformasi. Yang terus menggelinding adalah keinginan sebagaian orang untuk melakukan penundaan pemilu.
Kita tidak perlu berdebat, apakah penundaan pemilu itu dimungkinkan. Selama koalisi partai mayoritas pendukung pemerintah sepakat, maka Undang-undang Pemilu juga bisa diubah.
Namun kelihatannya penundaan pemilu akan jadi opsi kuat dari rejim yang memerintah dengan segala resikonya.
Alasan apa saja yang membuat muncul inisiatif untuk menunda pemilu? Yang pertama adalah karena ketidaksiapan pemerintah untuk mengakhiri kekuasaan, karena banyak rencana yang bisa mangkrak bahkan dihentikan kalau ada rezim baru yang tidak sepakat dengan gagasan mega proyek yang diinisiasi rezim lama.
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang heboh saat ini bisa saja dibatalkan mengingat ketidaklayakan teknis dan mundurnya investor.
Selain itu penundaan pemilu pasti digulirkan oleh para oligarki dan “pepeng” (penguasa dan pengusaha) yang ingin meneruskan proyek-proyeknya. Sementara jika setelah Pemilu dan Pilpres ,kekuatan alternatif yang menang, mereka khawatir akan terjadi putus kontrak.
Walaupun sebenarnya tidak perlu khawatir, karena sistim politik kita sudah berideologi plutokratisme (kekuasaan diatur oleh uang dan orang beruang).
Dorongan lain adalah keyakinan bahwa hegemoni satu partai politik tidak akan sampai terjadi tiga kali. Ingat Partai Demokrat yang hanya menyelesaikan kekuasaan satu kali perpanjangan.
Itu pun selama berkuasa ,Partai Demokrat mendapat tekanan publik terus-menerus karena tidak proper menjalankan pemerintahannya.
Keyakinan itulah yang mendorong semua pelaku politik menyerukan “enough is enough” atau dalam bahasa Jawa “sampun tuwuk, sumonggo sare” (sudah kenyang, silahkan tidur). Ini merupakan ujian bagi partai politik berkuasa bahwa partai politik dan koalisi partai pendukung sebenarnya ada durasinya.
Mustahil partai politik berkuasa tiga kali, karena dukungan politik itu bisa mengalami fatig (kelelahan), apalagi jika politik akomodasi pemerintah amburadul.
Karena itu, partai politik yang paling terkena dengan isu penundaan pemilu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang selama ini mengobarkan ideologi demokrasi. PDIP yakin dapat berkuasa kembali kalau pemilu berlangsung sesuai jadwal. Walaupun realitasnya ,partai politik pasti mengalami masa surut dan harus diganti oleh partai politik lain yang mendapat dukungan baru dari masyarakat.
Lalu siapakah yang menginginkan penundaan pemilu? Tentu adalah partai politik yang kalau pemilu dijalankan sesuai jadwal mereka akan kalah.
Mereka adalah partai politik yang menginginkan kocok ulang kandidat presiden yang terlanjur diviralkan ,sehingga tidak ada siklus kekuasaan ketiga kali bagi partai politik berkuasa.
Yang lain adalah pihak yang diuntungkan jika terjadi penundaan pemilu, yakni pihak yang menginginkan bisnis berlanjut dan pihak yang tidak ingin namanya tercemar dalam sejarah karena meninggalkan proyek-proyak mangkrak.
Dengan penundaan pemilu, minimal ada sisa waktu untuk melanjutkan proyek sehingga sampai tahap “the point of no return”. Itulah mengapa pihak ini ingin melepaskan diri dari dukungan politik lama serta mencari koalisi politik baru yang politically feasible dan komit untuk melanjutkan proyek warisan gagasan rezim lama.
Sedangkan bagi oposisi penundaan pemilu dijadikan isu untuk mendeskreditkan rezim saat ini, khususnya tentang keseriusannya dalam mewujudkan sistem demokrasi sesuai tuntutan reformasi.
Mereka menginginkan penundaan pemilu menjadi isu strategis untuk menjatuhkan rezim secara revolusioner. Sehingga justru isunya dibalik bukan menunda pemilu, tapi mempercepat pemilu karena sudah terjadi pembusukan (deteroriation) sistem politik saat ini.
Bagaimanapun pergunjingan tentang penundaan pemilu ini tentu merupakan ujian bagi PDIP, apakah bisa menjadi partai jagoan yang memiliki pengaruh kuat setiap rezim berganti.
Golkar sudah membuktikan sebagai partai politik yang tahu diri dan dapat terus eksis walau memiliki dosa yang tak terampuni secara nasional.
Bertahun-tahun Golkar ikhlas menjadi pecundang, namun perjalanan partai politik bisa berkata lain sesuai dengan aspirasi rakyat sebagai aktor demokrasi
(***)