Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Fundamental ekonomi Indonesia semakin memburuk di masa Pemerintahan Jokowi. Semakin rapuh. Kondisi moneter dan fiskal semakin ‘babak belur’. Kurs rupiah di pasar spot sudah tembus Rp16.300 per dolar AS pada 5/6/2024. ‘Doping’ alias intervensi untuk mempertahankan kurs rupiah sejauh ini gagal total.
Bank Indonesia bahkan harus mengorbankan diri, ‘menyimpang’ dari tugas pokok Bank Sentral. Bank Indonesia difungsikan sebagai mesin baru pencetak utang luar negeri, melalui penerbitan surat utang (obligasi) Bank Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, tiga jenis surat utang sekaligus: SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia), dan SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia)
Bank Indonesia yakin penerbitan surat utang Bank Indonesia dapat menarik investor asing untuk memperkuat kurs rupiah. Ternyata hanya ilusi. Gagal.
Cadangan devisa selama periode Januari-April 2024 sudah terkuras 10,2 miliar dolar AS, dari 146,4 miliar dolar AS per akhir Desember 2023 menjadi 136,2 miliar dolar AS per akhir April 2024.
Kementerian Keuangan juga sangat resah. Kenaikan kurs dolar akan berdampak buruk bagi fiskal dan daya beli masyarakat. Beban bunga utang pemerintah akan melonjak. Subsidi yang berhubungan dengan mata uang dolar, seperti BBM, elpiji, listrik, pupuk, juga akan membengkak. Harga bahan pokok asal impor akan naik, seperti tahu, tempe, daging.
Kementerian Keuangan mulai ‘menjajakan’ kembali surat utang negara ke luar negeri, dimulai dari Jepang. Awal Mei 2024, Kementerian Keuangan menerbitkan Samurai bond, hanya dapat 200 miliar yen, atau sekitar 1,25 miliar dolar AS saja. Jumlah ini sangat kecil untuk bisa ‘doping’ atau intervensi kurs rupiah, yang hanya menguat sedikit menjadi Rp15.920 per dolar AS pada 16 mei 2024. Setelah itu, kurs rupiah merosot lagi, dan tembus Rp16.300.
Seiring dengan terpuruknya moneter, kondisi fiskal (APBN) juga sangat memprihatinkan. Penerimaan perpajakan (yaitu pajak, bea dan cukai) turun 8 persen selama Januari-April 2024 dibandingkan periode sama 2023. Padahal, menurut APBN 2024, penerimaan perpajakan dianggarkan naik 7,2 persen. Artinya, penerimaan negara dari perpajakan bisa shortfall 15 sampai 20 persen. Gawat.
Penerimaan perpajakan selama 4 bulan pertama 2024 hanya Rp719,90 triliun, atau turun Rp62,76 triliun dibandingkan 2023 yang mencapai Rp782,66 triliun. Diperkirakan, tren penurunan penerimaan perpajakan akan berlanjut, sehingga bisa memicu krisis fiskal. Rasio pajak akan turun, diperkirakan hanya maksimal 9,5 persen dari PDB. Lebih rendah dari rasio pajak sebelum pandemi, 2019, yang mencapai 9,8 persen.
Kondisi fiskal memang sudah sangat rentan sebelum pandemi covid-19. Ekonomi Indonesia ketika itu hanya diselamatkan oleh pandemi yang membuat harga komoditas melonjak sejak pertengahan 2020, akibat kebijakan moneter global yang bersifat inflationary, yaitu kebijakan suku bunga (mendekati) nol persen, dengan kombinasi monetary financing, yaitu pembiayaan defisit anggaran melalui quantitative easing, atau bahasa awamnya adalah cetak uang.
Lonjakan harga komoditas bagaikan durian runtuh bagi Indonesia. Fundamental ekonomi dan ekspor yang masih sangat mengandalkan sektor komoditas pertambangan dan perkebunan mendapat keuntungan berlimpah. Tetapi, ironinya, yang mendapat keuntungan berlimpah tersebut hanya pengusaha tambang dan perkebunan, dan tentu saja pemerintah.
Sedangkan rakyat yang sebenarnya merupakan pemilik kekayaan alam Indonesia malah buntung, alias menderita. Rakyat malah dibebankan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022, dan kenaikan harga BBM (bersubsidi) pada 3 September 2022.
Alasan kenaikan harga BBM bahkan sangat menyakitkan hati rakyat. Sri Mulyani dan Jokowi membuat pernyataan tidak benar dan menyesatkan, bahwa subsidi BBM (tahun 2022) tembus Rp502 triliun, bahkan masih akan membengkak lagi menjadi Rp698 triliun kalau tidak ada kenaikan harga atau pembatasan pemakaian BBM bersubsidi.
Ternyata, semua itu bohong. Ternyata, APBN 2022 tidak jebol. Sebaliknya, APBN 2022 mendapat rejeki berlimpah. Pendapatan negara 2022 naik Rp623,36 triliun atau 31,1 persen dibandingkan APBN 2021: dari Rp2.003,06 triliun menjadi Rp2.626,42 triliun.
Sangat menyedihkan mempunyai pemerintah yang begitu jahat terhadap rakyatnya sendiri: negara untung, tapi rakyat dibuat buntung!
Harga komoditas kini mengalami koreksi. Ekonomi Indonesia kembali ke titik nol, dengan fundamental ekonomi rapuh.
Yang mengenaskan, ketika kinerja ekonomi dan fiskal anjlok, rakyat juga yang harus menanggung derita. Dalam waktu dekat, pemerintah diperkirakan akan mengurangi subsidi. Tarif listrik, harga BBM diperkirakan akan segera dinaikkan. Bahkan ada wacana pertalite akan dihapus. Bagaimana dengan harga elpiji? Atau, apakah pupuk subsidi akan langka lagi?
Jangan lupa, uang kuliah (UKT) sudah dinaikkan. Tapi atas perlawanan dari masyarakat kemudian dibatalkan. Pemerintah juga berencana mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Iuran Pariwisata yang dikenakan melalui tiket penerbangan. Atas perlawanan rakyat, sepertinya wacana yang melanggar konstitusi ini akan kandas juga.
Semoga rakyat terus melawan segala bentuk ketidakadilan pemerintah yang terus mencoba mengenakan pungutan wajib yang melanggar konstitusi, termasuk Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Nasib rakyat Indonesia memang sangat mengenaskan di pemerintahan Jokowi. Dalam kondisi apapun, rakyat menjadi objek penanggung derita: harga komoditas naik, rakyat menderita, karena belanja subsidi dikurangi sehingga membuat harga naik. Harga komoditas turun, rakyat juga menderita, karena subsidi juga dikurangi dan harga naik.
Bahkan sekarang ada Tapera yang terindikasi jelas melanggar konstitusi, karena bersifat pemaksaan. Menabung adalah hak masyarakat untuk memilih, apakah menabung atau konsumsi. Pemerintah tidak boleh memaksa dengan alasan apapun.
Yang memprihatinkan, kondisi moneter dan fiskal yang sangat lemah ini di luar kendali pemerintah. Kurs rupiah di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari investor asing. Harga komoditas di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari kebijakan moneter bank sentral global khususnya the Fed.
Kalau tren seperti ini berlanjut, maka krisis ekonomi tinggal tunggu waktu.
[***]