Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Presiden Prabowo Subianto rencananya akan melakukan lawatan kenegaraan pada lima negara penting di dunia pada tanggal 8-24 Nopember 2024. Kunjungan ini, termasuk pula menghadiri pertemuan APEC yang dilaksanakan di Peru pada 10-16 November dan KTT G20 yang akan berlangsung di Brasil pada 18-19 November 2024. Selain itu, kunjungan kenegaraan tidak lain juga dalam rangka memantapkan kerjasama strategis internasional dan membangun fondasi kuat bagi perdamaian abadi dan keadilan di dunia sebagaj bagian dari mandat konstitusi, Pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini, tentu saja adalah implementasi dari arah dan kebijakan politik luar negeri Bertetangga yang Baik atau Good Neighbour Policy yang disampaikan dalam debat calon Presiden (capres) saat Pilpres 2024 lalu.
Visi-Misi bertetangga baik tersebut diterapkan melalui dua (2) jalur, yaitu kesejarahan (historical way) dan ketetanggaan (neighborhood way). Dan, posisi Indonesia sebagai salah satu negara pencetus Gerakan Non Blok/GNB (Non Aligned Movement) yang berdiri pada 1 September 1961 di Belgrade, Yugoslavia (saat ini Serbia) dengan anggota 120 negara menjadi faktor kunci (key factor). Lalu, seberapa penting (meaningful) dan berpengaruhnyakah (powerful) misi kunjungan kenegaraan resmi pertama Prabowo Subianto pasca menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia tersebut bagi terbentuknya kerjasama pembangunan tata dunia baru pada umumnya dan khususnya bagi Indonesia?
Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial
Atas dasar itu pulalah, kunjungan kenegaraan pertama Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri pada tanggal 8 Nopember 2024 diarahkan ke negara Republik Rakyat Cina (RRC). Sebab, RRC merupakan negara penting dan berpengaruh dalam tatanan perekonomian dunia abad ke-21 apalagi pasca Indonesia menyatakan secara resmi bergabung sebagai anggota BRICS. BRICS yaitu suatu organisasi kerjasama antar pemerintah yang salah satu pendirinya adalah RRC (an intergovernmental organization comprising Brazil, Russia, India, China, South Africa for the first time establishment). Keterlibatan Indonesia dalam kerjasama kemitraan strategis BRICS ini semakin menempatkan posisi kesetaraan dan kesejajaran Indonesia dalam kancah pergaulan dunia. Sebagai perwujudan dari piagam hak asasi manusia (equality based on human right) dijalankan serta saling menghormati dan menghargai (mutual respect) sikap politik masing-masing negara berdaulat.
Dengan RRC, yang telah menjelma sebagai negara kekuatan baru yang telah mempengaruhi perekonomian dunia Indonesia telah membangun berbagai kerjasama ekonomi dan perdagangan. Namun, perlu kiranya memperbaiki beberapa materi kerjasama kedua negara yang telah terjalin dimasa pemerintahan Presiden Joko Widodo agar tidak merugikan posisi Indonesia di dalam negeri sendiri. Terutama sekali, dalam kerjasama investasi disektor pertambangan, khususnya komoditas nikel yang selama ini menggunakan model turnkey project haruslah dievaluasi. Evaluasi itu tidak saja terkait beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditimbulkannya, namun juga keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dibawa ke tanah air dimana lokasi industri berada. Jangan sampai kerjasama kemitraan strategis dengan RRC justru mengabaikan peran dan manfaat strategis bagi rakyat Indonesia, khususnya tenaga kerja Indonesia di dalam negeri.
Dalam posisi inilah, misalnya dukungan kerjasama pembangunan perumahan sejumlah 3.000.000 unit oleh China Construction Technology Consulting (CCTC) secara prinsip harus ditegaskan. Posisi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pimpinan Anindya Novyan Bakrie bersama Hashim Djoyohadikusumo telah mendahului kunjungan Presiden RI itu bersama Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (WamenPerwaskiman), Fahri Hamzah juga harus bersih dari konflik kepentingan (conflict of interest) kelompok pengusaha tertentu. Maka, tindaklanjut dan skema dukungan CCTC tersebut haruslah dipastikan tidak menyimpang dari misi asta cita Presiden Prabowo Subianto yang lebih memberikan peran lebih luas kepada Koperasi serta mendukung perluasan kesempatan kerja untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional.
Kemudian, Presiden akan menghadiri pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Peru negara ketiga terbesar di kawasan Amerika Selatan. APEC merupakan organisasi kerja sama ekonomi negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang didirikan di Canberra pada Nopember 1989 beranggotakan 21 negara adalah juga forum penting bagi Indonesia dalam kerjasama pembangunan ekonomi. Hanya saja, Indonesia harus lebih pro aktif mendorong kemajuan pertumbuhan ekonomi dengan membangun kerjasama lebih luas di kawasan Pasifik, termasuk memperbaiki sistem perdagangan multilateral. Sebab, perhatian serius (concern) Presiden RI bagi terciptanya perdamaian dunia adalah melalui pembangunan yang berkeadilan dalam konteks kebijakan perdagangan bebas di kawasan APEC yang telah dijalankan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Selanjutnya, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto perlu menagih komitmen para anggota G20 terkait isu dan permasalahan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development Goal/SDGs) pada pertemuan di Brazil. Ditengah konflik dan ketegangan politik global, khususnya di kawasan timur tengah Indonesia perlu menyerukan penghentian peperangan yang berpotensi memicu Perang Dunia ke-3. Pengaruh Indonesia yang tergabung G20 akan sangat signifikan dalam upaya menghentikan peperangan yang membawa berbagai negara mundur ke arah perilaku primitif serta bertentangan dengan komitmen negara yang berperadaban dalam berkemajuan. Peran kunci Indonesia dalam forum G20 tersebut, yaitu mengingatkan kembali pentingnya perdamaian dunia dalam kerjasama pembangunan dan lebih memprioritaskan “memerangi” kelaparan, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dunia.
Apalagi penghentian peperangan yang dimotori G20 ini penting dalam menjalankan berbagai isu dan permasalahan perubahan iklim (climate change) melalui transisi energi dengan pembangunan energi baru dan terbaharukan, yang bersih serta ramah lingkungan. Membiarkan peperangan berlanjut, justru kontraproduktif dengan tujuan SDGs mengatasi permasalahan FEW atau pangan (food), energi (energy) dan air (water). Peperangan, selain menimbulkan korban jiwa juga mengotori dan memunculkan ketidakramahan lingkungan serta merusak tatanan dunia baru yang dicita-citakan G20. Sebagai tuan rumah dan pendiri BRICS, Brazil merupakan salah satu contoh negara yang berhasil melakukan transisi energi yang memberikan manfaat dan dampak pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian rakyat dan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Last but not least, adalah kunjungan kenegaraan Amerika Serikat dan yang pamungkas ke Inggris menjadi waktu yang sangat tepat momentumnya untuk menguatkan cara pandang (persepsi) bersama terkait model kerjasama pertahanan dan keamanan negara dimasa depan untuk tujuan terciptanya perdamaian kawasan dan dunia. Motto bersahabat dan bertetangga baik tanpa sekat (non blok) ini diperkuat oleh tidak ada masalah bagi Indonesia bekerjasama dengan negara-negara manapun, bahkan komunisme dan kapitalisme sejauh didasari perikemanusian dan perikeadilan. Inilah pengaruh dan kekuatan sebagai super power baru dunia yang dimiliki oleh Indonesia melalui politik tinggi (high policy) oleh Presiden Prabowo Subianto. Hal mana telah dijalankan saat berkunjung ke negara penting lainnya, yaitu Turki dan Rusia pada 30-31 Juli 2024 lalu.
[***]