PILKADA serentak di 171 daerah telah sukses diselenggarakan. Berkat kerja karas penyelenggaran pemilu adan aparat keamanan, alhamdulillah hajatan demokrasi tersebut berjalan lancar. Setelah pilkada usai, isu kini bergeser ke Pilpres 2019.
Salah satu bahasan menarik menjelang pendaftawan capres-cawapres Agustus 2018 mendatang adalah siapa calon pendamping Joko Widodo (Jokowi)? Sebab, meskipun Jokowi dipastikan akan maju sebagai capres, namun hingga saat ini siapa cawapresnya masih penuh teka-teki.
Menurut info dari Istana, Jokowi dikabarkan sudah mengantongi nama sosok yang akan mendampinginya. Namun nama itu tentu akan terus diuji tingkat kelayakannnya. Tanpa bermaksud mengesampingkan rival Jokowi, tulisan ini akan fokus menbahas siapa cawapres Jokowi pada Pilpres 2019.
Tim Jokowi beberapa bulan lalu telah membuat tiga cluster cawapres Jokowi, yakni dari kalangan militer, kalangan santri dan kalangan teknokrat. Jika melihat nama yang santer beredar—baik di media ataupun di tim internal Jokowi—maka nama-nama yang muncul dari kalangan militer adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Agus Harimurni Yudhoyono, Jenderal Pol Budi Gunawan dan Jenderal Tito Karnavian.
Sedangkan dari kalangan santri ada Muhaimin Iskandar, KH Said Aqil Siroj, Mahfud MD, As’ad Said Ali, ataupun TGB Muhammad Zainul Majdi. Adapaun dari kalangan teknokrat ada Sri Mulyani, Airlangga Hartanto, Chairul Tandjung,  dan Susi Pudjiastuti.
Cawapres Ideal
Dengan melihat perkembangan politik dan situasi mutakhir menjelang sekitar satu bulan pendaftaran capres-cawapres, saya melihat bahwa arah cawapres Jokowi menuju ke cluster militer. Mengapa? Ini sebagai penyeimbang posisi Jokowi yang dari sipil, apalagi isu yang berkembang rival Jokowi nanti juga dari kalangan militer.
Memang harus diakui, ada wacana berkembang bahwa Jokowi harus mengambil capres dari kelompok santri (kelompok Islam). Ini sebagai upaya untuk mengcounter isu tidak sedap terhadap Jokowi (seperti PKI, anti Islam, dll) ataupun menangkis gerakan (replikasi) gelombang 212 yang berhasil menumbangkan Ahok. Namun wacana itu dalam beberapa bulan terakhir cenderung mengecil. Kelompok 212 bahkan telah menemui Jokowi. Dengan kondisi tersebut, maka kuat kemungkinan bahwa cawapres Jokowi nanti berasal dari militer.
Lantas siapa tokoh militer yang ideal mendampingi Jokowi? Coba kita analisis satu-satu. Analisis pertama kita tujukan kepada nama Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo. Nama Gatot sempat booming bulan September 2017 lalu, usai menghadiri aksi 212 dengan memakai peci warna putih dan saat menyerukan kepada anggota TNI untuk wajib menonton film G 30 S PKI. Termasuk polemik pembelian senjata.
Saat-saat menjelang pensiun itu, nama Getot pun mencuat sebaga capres. Angin pun terus berhembus. Dalam sejumlah kesempatan, Gatot terus melakukan manuver. Namun manuver Gatot rupanya tidak disukai Jokowi. Gatot akhirnya dipensiunkan dengan segera dari Jabatan Panglima TNI sebelumnya masanya. Dari sini terlihat bahwa peluang Gatot mendampingi Jokowi makin mengecil, palagi belakangan ia santer menggalang kekuatan untuk menjadi capres, bukan cawapres.
Nama berikutnya adalah Agus Harimurni Yudhoyono. Putra SBY ini memang dinilai sebagai the next leader. Namanya mendadak melejit setelah bertarung dalam Pilkada Jakarta 2017. Dari sisi usia, Agus merupakan cawapres potensial mengingat selain cerdas dan berprestasi, ia juga salah satu tokoh muda tampan yang banyak mendapatkan simpati dari pemilih muda dan perempuan.
Namun sayang, AHY adalah anak SBY—ketua umum Partai Demokrat. Sebagai tokoh partai—apalagi pewaris dinasti Cikeas—sulitnya rasanya kedatangan AHY akan diterima oleh partai-partai koalisi Jokowi, khususnya PDIP. Sebab jika ia menjadi cawapres Jokowi, bisa dipastikan putra SBY tersebut akan menjadi capres potensial pada Pilpres 2024. Artinya, dari perspektif ini, posisi AHY kecil untuk bisa mendampingi Jokowi.
Nama selanjutnya adalah Jenderal Pol Budi Gunawan dan Jenderal Tito Karnavian. Budi Gunawan disebut-sebut sebagai orang kesayangan Mega. Jika Budi Gunawan mendampingi Jokowi, dikhawatirkan akan terjadi kecemburuan bagi partai pendukung Jokowi lainnya. Apalagi secara popularitas dan elektabilitas, Budi Gunawan juga masih cukup rendah dibandingkan nama-nama lain yang muncul. Sedangkan Tito Karnavian kemungkinanya juga kecil. Ia sudah berulang kali menyatakan enggan untuk masuk politik praktis.
Moeldoko?
Nama terakhir adalah Moeldoko. Nama ini perlu diberi garis tebal karena di antara mantan Panglima TNI, nama Moeldoko seperti diberi tempat istimewa. Setelah menjadi Ketua Umum DPP KHTI, Meoldoko kemudian didapuk untuk memimpin Kantor Kepala Staf Presiden. Kenapa Jokowi diajak mendekat ke Istana? Hal itu lantaran Moeldoko selama ini dianggap Panglima TNI banyak menorehkan prestasi. Moeldoko juga dinilai Panglima TNI yang mampu menjaga netralitas. Di saat yang sama, Jokowi ingin tahu karakter Moeldoko secara dekat.
Selain itu, sebagai tokoh dengan latar belakang pendidikan Doktor dari Universitas Indonesia, Moeldoko mempunyai kemampuan dan kekuatan yang cukup baik secara intelektual. Meoldoko bisa disebut sebagai orang militer yang sipil karena berbagai jabatan yang pernah dipegangnya itu. Inilah yang membedakan mantan Panglima TNI Moeldoko dengan mantan Panglima TNI lainnya.
Tidak seperti mantan Panglima TNI lainnya yang suka bermanuver, Moledoko termasuk orang yang tertip. Ia benar-benar menjaga loyalitas dengan atasannya. Alasan-alasan inilah yang menurut hemat saya jika Jokowi nantinya memilih cawapres dari kalangan militer, kuat kemungkinan ia akan mendapuk sosok Moeldoko. Moeldoko adalah cawapres ideal bagi Jokowi. Apalagi secara chemestry Jokowi terlihat sekali cocok dan nyaman dengan Jenderal (Purn) TNI Moeldoko.
Oleh Ngasiman Djoyonegoro, Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS)