Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun.
Beberapa pihak tidak setuju dengan peraturan batas usia minimum ini. Antara lain Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda.
Keduanya mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon mengatakan hak konstitusionalnya dirugikan, karena itu mengajukan permohonan judicial review agar batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Anehnya, Mahkamah Konstitusi menerima (bukan atau belum mengabulkan) permohonan judicial tersebut untuk disidangkan.
Seharusnya, Mahkamah Konstitusi menolak menggelar sidang permohonan judicial review tersebut, karena bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden.
Beberapa alasan mengapa Mahkamah Konstitusi seharusnya menolak permohonan tersebut.
Pertama, pemohon harus mempunyai legal standing, yaitu harus perorangan yang ingin mencalonkan dirinya sebagai presiden atau wakil presiden, tetapi tidak bisa sehingga hak konstitusinya dirugikan.
Dalam hal ini, partai politik tidak mempunyai legal standing, karena bukan perorangan yang bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden. Sebagai konsekuensi, partai politik tidak bisa mengajukan permohonan judicial review terkait batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, permohonan harus ditolak.
Kedua, seandainya ada perorangan yang mengajukan judicial review, yang bersangkutan harus di antara usia 35-40 tahun, dan ada partai politik yang sudah bersedia mengusulkannya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Kalau kedua kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak ada legal standing, dan MK harus menolak permohonan judicial review tersebut, karena tidak memenuhi syarat legal standing.
Ketiga, seandainya pemohon memenuhi semua persyaratan legal standing seperti disebut di atas, Mahkamah Konstitusi juga tidak berwenang menggelar perkara judicial review batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden, karena hal tersebut merupakan hak pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah.
Karena batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden merupakan Open Legal Policy yang harus diperdebatkan di DPR dengan melibatkan semua partai politik.
Batas usia minimum 40 tahun pada hakekatnya untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia agar presiden dan wakil presiden dijabat oleh orang yang cukup berpengalaman berdasarkan usia, menurut pandangan dan perdebatan antar partai politik sebagai pembuat UU di parlemen.
Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili UU terhadap konstitusi. Kalau batas usia minimum 40 tahun melanggar konstitusi, maka batas usia minimum 35 tahun juga melanggar konstitusi, atau batas usia minimum 45 tahun juga melanggar konstitusi. Itu konsekuensi yang akan terjadi.
Kalau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dengan menurunkan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden menjadi 35 tahun, maka Mahkamah Konstitusi sudah bertindak melampaui wewenang konstitusinya, karena Mahkamah Konstitusi sudah menjadi pembuat UU tunggal.
Artinya, Mahkamah Konstitusi melanggar konstitusi, dan hakim Konstitusi menjadi pengkhianat negara seperti dimaksud pada penjelasan pasal 169 huruf d UU pemilu: Yang dimaksud dengan “tidak pernah mengkhianati negara” adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah dan DPR harus menyelesaikan pasal batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No 11 Tahun 2011 beserta perubahannya).
Hakim Konstitusi Saldi Isra sudah tepat mengatakan: Kalau DPR dan pemerintah setuju mengapa tidak diubah saja UU, tidak perlu melempar isu ini ke MK untuk diselesaikan.
Tetapi, kesalahan fatal Mahkamah Konstitusi adalah menggelar sidang judicial review yang tidak ada legal standing, dan yang juga bukan wewenangnya.
Sedangkan permohonan uji materi presidential threshold 20 persen, yang jelas-jelas melanggar konstitusi, tidak digubris, dan bahkan dihalangi dengan tidak menggelar sidang permohonan dengan alasan tidak ada legal standing atau itu merupakan open legal policy DPR dan Pemerintah.
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi juga melanggar Konstitusi, dan hakim Konstitusi yang dengan sengaja melanggengkan pelanggaran konstitusi menjadi pengkhianat negara, sesuai bunyi penjelasan pasal 169 huruf d UU pemilu tersebut.
Akan tiba saatnya, pengkhianat negara harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
[***]