Artikel ini ditulis oleh Ramdansyah, Pendiri Rumah Demokrasi, Ketua Panwaslu Provinsi DKI di Pilgub Pilpres 2008/2009, Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta di Pilkada DKI 2011/2012.
Fenomena kotak kosong sudah cukup mengkhawatirkan demokrasi kita, karena jumlahnya semakin meningkat. Perlawanan pemilih yang menolak pasangan calon yang diusung partai politik semakin keras. Mereka tidak ingin hadir di TPS, kalaupun hadir akan mencoblos bukan pasangan calon dalam surat suara (none of above). Ini artinya mereka dengan sengaja “merusak” surat suara dengan sadar. Fenomena ini tentunya perlu disikapi. Dalam rilis ini Rumah Demokrasi mengharapkan adanya perlindungan hak suara pemilih tidak hanya di daerah dengan pasangan calon tunggal, tetapi juga di seluruh pelaksanaan Pilkada 2024. Sehingga pilihan terhadap non pasangan calon dalam surat suara menjadi sah.
Rumah Demokrasi menyampaikan hal ini dengan pertimbangan pertama, bahwa jumlah Pilkada yang diikuti oleh kotak kosong meningkat di sejumlah Pilkada hingga hari ini. Pilkada 2018 hanya terdapat 16 daerah dengan kotak kosong. Jumlah ini meningkat menjadi 25 daerah di tahun 2020. Jumlah kotak kosong di Pilkada 2024 meningkat menjadi 43 daerah, jika hingga besok tanggal 4 September 2024 tidak ada yang mengusung pasangan calon ke KPU pada masa perpanjangan pendaftaran.
Di satu sisi Rumah Demokrasi melihat akomodasi pemberian suara “bukan kepada pasangan calon dalam surat suara” (none of above) dianggap sah mewakili kotak kosong perlu diapresiasi. Payung hukum keberadaan pasangan calon tunggal diakomodir di Pasal 54C UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota . Teknis penentuan kemenangan calon tunggal diatur dalam Pasal 54D ayat (1) UU No. 10/2016. Di sana tertulis bahwa calon tunggal akan diakui menang apabila memperoleh paling sedikit 50% dari jumlah suara sah. Apabila kurang, maka pemenang adalah kotak kosong. Dalam undang-undang ini, calon yang dinyatakan gagal memiliki kesempatan untuk maju kembali pada pemilihan berikutnya. Pilkada Kota Makassar tahun 2018 membuktikan perlindungan konstitusional hak warganegara untuk memilih “bukan pasangan calon dalam surat suara”.
Di sisi lain Rumah Demokrasi melihat bahwa fenomena kotak kosong perlu diperluas dan diakomodir tidak hanya di daerah dengan pasangan calon tunggal atau 43 daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) didorong untuk melindungi hak-hak pemilih di Pilkada serentak 2024 yang tidak menginginkan memilih sejumlah pasangan calon yang diusung partai politik dan nantinya masuk dalam surat suara. MK perlu menjamin kesetaraan pemilih seperti tertuang di Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pertimbangan kedua dari Rumah Demokrasi, karena potensi rusaknya demokrasi di Indonesia, karena adanya dugaan kartel politik yang memborong dukungan partai politik sebanyak-banyaknya. Publik mencurigai keberadaan koalisi partai politik yang awalnya hanya koalisi dari pasangan calon presiden terpilih melebar menjadi koalisi dengan partai-partai politik lainnya sebagai upaya untuk menjegal kontestasi sehat dalam demokrasi. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60 tahun 2024 berhasil menurunkan ambang batas pencalonan dari semula 20% kursi atau 25% perolehan suara menjadi 6,5%, 7,5%, 8,5% dan 10%, tetapi toh tetap saja keberadaan pasangan tunggal semakin besar. Kalau kartel politik ini terus terjadi, maka Pilkada ke Pilkada berikutnya akan berpotensi meningkatbnya calon tunggal di banyak daerah.
Keberadaan kartel politik dalam Pilkada tetap akan membuat proses demokrasi akan berjalan, tetapi ia menjadi bussiness as usual. Ia hanya menjadi prasyarat suatu negara demokrasi saja, tetapi dengan pelibatan publik yang rendah. Padahal rakyat sebagai pemilih berhak untuk didengar suaranya dan menjadikan Pilkada sebagai alternatif untuk mencari calon-calon pemimpin di daerah.
Pertimbangan ketiga, karena partai politik dalam mengusung calon kepala daerah cenderung tertutup. Mekanisme tertutup dilakukan dengan mengusung kader, teman, orang-orang yang memiliki kesamaan agama, daerah, suku, dan keluarga di kalangan elit partai. Bahkan lebih ekstrim lagi pengusungan calon lebih karena alasan kompromi politik untuk jabatan kabinet di tingkat elit partai tanpa mengkomunikasikan secara kelembagaan kepada internal partai.
Rekrutmen terbuka yang sangat baik untuk proses demokrasi mulai jarang dilakukan untuk menjaring pengurus internal partai atau warga negara yang memenuhi kriteria. Bahkan tradisi untuk menjaring survei elektabilitas calon mulai tidak digunakan. Demikian juga konvensi partai politik untuk mengakomodir kandidat terbaik pilihan warga untuk diusung dalam Pilkada minim dilakukan. Padahal sistem demokrasi hari ini diharapkan responsif terhadap keinginan dan preferensi warga negara. Tujuannya, tidak ada kata lain untuk menciptakan partisipasi publik dalam ajang pesta demokrasi. Ketika pemilihan pasangan calon lebih kepada elit partai politik, wabil khusus wilayah Ketua Umum dan Sekjen belaka, tanpa memperhatikan aspirasi internal partainya dan juga warga masyarakat, maka partipasi pemilih rendah mudah diprediksi akan terjadi nantinya.
Ketika harapan dan partisipasi publik dihambat oleh partai-partai politik, maka puncaknya dapat memunculkan banyak protes untuk tidak memilih semua pasangan calon yang diusung partai. Kondisi ini ini mulai menggema hampir di seluruh Indonesia pasca penutupan pendaftaran pasangan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) 29 Agustus 2024. Mereka protes terhadap keputusan partai politik sebagai lembaga yang berhak untuk mengusung calon, tetapi tidak mendengar dan memperhatikan suara warga.
Kenapa warga berkampanye untuk “none of above” atau kotak kosong, padahal mereka pemilih yang taat hukum? Hal ini terjadi, karena dilandasi adanya sinyal protes atau perlawanan terhadap pasangan calon yang tidak diinginkan. Mereka memberikan suara untuk membatalkan surat suara mereka sendiri. Mereka menjadikan surat suaranya menjadi tidak sah menurut petugas penyelenggara Pilkada di TPS. Bahkan ada pemilih yang hadir, mengambil surat surat suara, tetapi surat suara tersebut dibiarkan kosong sehingga dianggap tidak sah. Pada akhirnya, mereka dirugikan, karena suaranya menjadi tidak sah.
Sekali lagi, fenomena ini terjadi karena harapan dan keinginan mereka untuk mengusulkan kandidat yang berkualitas menurut mereka tidak diakomodir oleh partai politik yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon. Mereka menganggap partai politik seharusnya menghargai aspirasi masyarakat yang juga disurvei oleh sejumlah lembaga survei.
Fenomena kotak kosong terjadi di hampir banyak negara sekarang ini tidak hanya di Indonesia. Di sejumlah negara protes terhadap pemilihan nasional dan kepala daerah dilakukan dengan melibatkan ratusan ribu orang, bahkan jutaan. Protes para pendukung “none of above” (suara kotak kosong) bergabung dalam demonstrasi besar, menduduki gedung, bahkan boikot pemilu. Jutaan warga yang mempunyai hak pilih menggunakan waktunya untuk pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetapi membiarkan surat suara mereka kosong tidak dicoblos, dirusak dan menjadi tidak sah.
Rumah Demokrasi perlu mengutip tulisan terbaru dari Mollie J. Cohen yang berjudul None of Above (2024). Ia menyebutkan alasan warga pemilih dari 2 negara di Amerika Latin yang mendukung keberadaan “bukan pasangan dalam surat suara”. Mereka ternyata tidak puas terhadap kandidat presiden di negara Meksiko dan Peru. Mereka membuat kampanye surat suara kosong sebagai protes perlawanan. Pada akhirnya, sebagian besar pemungutan suara tidak sah terjadi di pemilihan presiden 2 negara Amerika Latin. Kondisi ini mencerminkan ketidaksetujuan pemilih terhadap para kandidat dalam surat suara.
Mollie J. Cohen juga menceritakan pemilihan presiden Ekuador tahun 2021. Cohen menguraikan keberadaan calon Yaku Pérez dari Gerakan Pachakutik yang tersingkir di putaran kedua. Pada putaran ketiga ia berkampanye kepada para pemilihnya bahwa ia akan merusak surat suara dan memilih “jalan ketiga” dari pilihan yang tersedia di dalam surat suara. Pérez tidak sendirian. Gerakan Pachakutik, serta Konfederasi Organisasi Masyarakat Adat Nasional Ekuador (organisasi masyarakat adat terbesar di negara itu), meminta para pendukung mereka untuk merusak surat suara mereka sebagai bentuk kekecewaan karena kandidat yang tidak mewakili preferensi mereka. Hampir dua juta warga Ekuador memberikan suara yang tidak sah surat suara seperti ini.
Apa yang terjadi di Amerika Latin berpotensi terjadi di Pemilu dan Pilkada yang tengah berlangsung di Indonesia. Sekarang ini sudah mulai banyak orang protes terhadap calon yang diajukan oleh partai politik pengusung. Hasil survei yang mereflesikan keinginan publik tidak dijadikan landasan untuk mengusung banyak Paslon kepala daerah. Sebagai contoh hasil survei dari lembaga penelitian di awal bulan Agustus 2024 seperti SMRC yang menghasilkan suara bakal calon Anies Rasyid Bawedan yang lebih unggul dibandingkan calon lain di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak diakomodir oleh partai politik. Padahal Anies memiliki basis konstituen yang cukup dan terkonfirmasi oleh hasil survei, karena pernah menjadi kepala daerah di Jakarta.
Fenomena “none of above” atau pilihan bukan pada “pasangan calon dalam surat suara” sebagai bentuk protes dapat dibedakan secara teknis. Pemilih suara none of above bukanlah orang yang “merusak surat suara” begitu saja, sehingga menjadi tidak sah. Mereka memiliki kesadaran berangkat ke TPS tetapi tidak mengisi surat suara, membuat coretan-coretan di surat suara atau mencoblos semuanya. Suara mereka perlu diselamatkan dari kategori suara tidak sah. Alangkah sayangnya jika jutaan pemilih melakukan hal tersebut karena tidak ada pilihan pasangan calon sesuai preferensi mereka. Karena itu Rumah Demokrasi mendorong MK agar memperhatikan hak konstitusi warganegara tersebut agar tidak hangus.
Pada akhirnya Rumah Demokrasi mendorong adanya ruang pemberian suara “bukan pasangan di dalam surat suara” atau “none of above”. Perlindungan hak konstitusional pemilih untuk memilih seperti halnya calon “kotak kosong” di 43 daerah juga perlu diberikan di seluruh daerah yang ikut Pilkada 2024. Hal ini adalah sebagai bentuk perlindungan hak warganegara seperti disebutkan di Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945. Perlindungan hak dasar ini patut diberikan untuk mencegah rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada serentak 2024.
Jakarta, 3 September 2024
[***]