USAI sudah kontestasi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta dengan segala hiruk pikuk yang terjadi selama gelaran tersebut. Kini para politisi dan partai politik akan menghadapi hajatan Pulau Jawa.
Pulau Jawa akan menggelar kontestasi pemilihan kepala daerah pada tahun 2018. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tentu gelaran pemilihan kepala daerah di 3 provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia akan menarik.
Semua partai politik akan mengupayakan semua sumberdaya untuk memenangkan pertarungan demokrasi di daerah-daerah tersebut.
Karena kemenangan di daerah tersebut akan berdampak pada kemenangan secara nasional di Tahun 2019.
Salah satu provinsi yang paling menarik perhatian publik dalam hal kontestasi demokrasi di tahun 2018 adalah Provinsi Jawa Barat.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia dengan populasi menurut Data BPS Provinsi Jawa Barat didiami penduduk sebanyak 46.709.600 Juta Jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 Kabupaten/Kota, 625 Kecamatan dan 5.899 Desa/Kelurahan.
Pada Gelaran Pemilihan Presiden 2014 total Daftar Pemilih Tetap Jawa Barat sebanyak 33.045.101 jiwa dengan proporsi 16.630.978 jiwa adalah pemilih laki-laki dan 16.414.123 jiwa adalah pemilih perempuan.
Suhu politik Jawa Barat Mulai memanas dengan manuver beberapa partai politik yang sangat keras dilakukan sebelum Ramadan ini.
Bulan Ramadan di prediksi akan menjadi ajang sosialisasi kandidat dengan memanfaatkan banyak momen di saat umat muslim beribadah puasa. Dimulai dengan deklarasi dukungan Partai Nasdem terhadap Ridwan Kamil. Kemudian dilanjutkan dengan roadshow Ridwan Kamil ke sejumlah daerah khususnya basis pemilih muslim di Jawa Barat.
Partai Gerindra dan PKS yang baru-baru ini memenangkan Pilkada di DKI sedang menikmati malam pengantin kemenangan Anies-Sandi mulai merapatkan barisan lagi ditandai dengan pernyataan dan “semi†intruksinya Prabowo Subianto kepada elit Partai Gerindra untuk membangun koalisi dengan PKS kembali di Pilkada Jawa Barat.
Berharap DKI effect akan menular di Jawa Barat memang bukan sesuatu yang mungkin terjadi melihat tipologi masyarakat Jawa Barat yang kental sekali dengan identitas khususnya agama.
Di sisi lain PDIP sebagai pemenang Pemilu di Jawa Barat juga sudah melakukan konsolidasi di tingkat elit untuk menghadapi pilgub Jawa Barat 2018. Dengan jumlah kursi yang cukup untuk memajukan paslon Cagub dan Cawagub di tambah dengan hasil Pilgub 2013 dimana calon yang diusung sendiri oleh PDIP menyodok ke peringkat dua di bawah incumbent menjadi sinyal positif bagi PDIP untuk kembali mengusung kadernya sendiri. Tentu dengan mempertimbangkan DKI effect yang akandirasakan langsung oleh PDIP di Jawa Barat.
Di luar dua poros Utama tersebut ada poros partai-partai yang cukup kuat di Jawa Barat yang juga sudah melakukan manuver-manuver mendekati bulan Ramadhan. Golkar dan PPP sepertinya sepakat mengusung ketua DPD I Jabar dan Ketua DPW. PAN, PKB, Demokrat dan Hanura juga sudah melakukan komunikasi di tingkat elit partai untuk menyusun koalisi di Pilgub Jawa Barat 2018.
Jawa Barat dan Tipologi Pemilih
Ada hal yang sangat menarik yang bisa menjadi basis penentuan strategi bagi partai politik menghadapi Pilgub Jabar 2018. Kami melakukan beberapa riset dan menemukan beberap hal menarik dalam menghadapi pilgub Jabar 2018. DKI effect disinyalir akan terasa dalam kontestasi pilgub Jawa Barat 2018.
Hasil riset Indekstat Indonesia menunjukkan bahwa factor kesamaan agama dalam memilih kepala daerah di Jawa Barat sangat tinggi yakni 77%. Sedangkan 23% nya mengatakan bukan agama yang menjadi pertimbangan dalam memilih kepala daerah. Pertimbangan inilah yang mesti diperhatikan oleh Partai Politik ataupun Kandidat dari Jalur Independen dalam menentukan langkah politik. Jawa Barat mayoritas memiliki identitas agama islamdengan persebaran titik-titik agama islam yang cukup merata, seperti pesantren, sekolah, organisasi massa dan lain sebagainya.
Lebih dalam lagi Kesamaan Agama dapat diartikan dan di asosiasikan kepada komunitas organisasi dimana basis massa kandidat bernaung atau setidaknya memiliki kedekatan.
Beberapa ormas islam besar di Jawa Barat seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, FPI, MMI, FUI, dan ormas serta komunitas islam. Asosiasi terhadap organisasi islam ini menjadi sangat penting dalam menggalang basis massa di saat semua kandidat memiliki identitas keagamaan yang sama.
Dengan data ini, tidak salah memang ketika PKS dan Gerindra berselancar dengan melakukan pendekatan ini guna berkontestasi di Pilgub Jawa Barat 2018 dengan memanfaatkan DKI Effect.
Hal Menarik yang ditemukan dalam riset Indekstat Indonesia adalah bahwa popularitas dan program yang ditawarkan serta janji kampanye masih menjadi pertimbangan dalam memilih kepala daerah. Kontruksi tawaran program dan janji politik menjadi fokus para kandidat dan partai politik dalam pilgub Jawa Barat 2018.
Jawa Barat dalam 10 tahun terakhir memang mengalami perkembangan signifikan walaupun di beberapa tahun terakhir dalam masa kepemimpinan Ahmad Heryawan cenderung stagnan dengan beberapa indikator yang masih di bawah rata-rata nasional.
Tentu kandidat yang baru harus menawarkan program dan janji politik yang jauh lebih baik lagi dari 10 tahun masa kepemimpinan Ahmad Heryawan.
Menjadi catatan bagi demokrasi di Indonesia bahwa untuk menjadi pemenang kontestasi politik haruslah memiliki tingkat popularitas yang tinggi, disukai oleh masyarakat, didukung dengan partisipasi relawan dan akhirnya dipilih saat hari pemilihan.
Oleh karena aspek popularitas sangat berpengaruh dalam pertimbangan pemilih, maka para kandidat dengan berbagai saluran promotion mencoba mengenalkan dirinya, hal ini berdampak kepada membengkaknya biaya sosialisasi kandidat terutama kandidat yang masih belum dikenal luas masyarakat.
Tipologi masyarakat Indonesia yang notabene masih memiliki tingkat pendapatan rendah membuat para kandidat harus menjemput dan menghampiri pemilih atau istilah sekarang dikenal dengan blusukan.
Pertimbangan selanjutnya adalah tingkat pendidikan dan prestasi kandidat calon kepala daerah yang akanbertarung menjadi pertimbangan yang signifikan bagi pemilih dalam menentukan pilihan kepala daerahnya.
Dalam karakter masyarakat dan pemimpin sunda dikenal dengan karakter yang harus dimiliki oleh masyarakat sunda termasuk pemimpinnya yaitu cageur (sehat),bageur (baik perilakunya), bener (benar akhlak dan kesolehannya), pinter (berwawasan luas), wanter(Berani), tur singer (terampil dalam mengelola sesuatu). Filosopi dan karakter itu menjadi satu paket syarat kepemimpinan bagi masyarakat sunda.
Kearifan lokal tersebut menjadi bekal bagi para kandidat yang akanbertarung dalam pemilihan gubernur jabar 2018 nanti. Track record kandidat sengat dilihat oleh masyarakat jawa barat saat kontestasi nanti.
Ada hal lain yang sangat menarik di cermati bagi para kandidat tentang pertimbangan memilih karena kesamaan partai, kesamaan suku, dan status sosial. Ketiga pertimbangan tersebut tidak menjadi faktor penentu yang signifikan bagi masyarakat dalam memilih kepala daerah di Jawa Barat.
Catatan yang sangat krusial memang terletak pada bahwa partai politik tidak menjadi pertimbangan Utama masyarakat memilih kandidat kepala daerahnya. Tuah parpol dalam posisi ini sangat lemah karena kekuatan figure dalam kontestasi pilkada jawa barat sangat berpengaruh.
Walaupun kesamaan partai politik tidak terlalu signifikan mempengaruhi pilihan masyarakat, akan tetapi dalam system demokrasi Indonesia saat ini, partai politik menjadi unsur penting dalam menentukan siapa yang akan bertarung dalam sebuah kontestasi pemilukada suatu daerah termasuk di dalamnya Jawa Barat.
Bagi partai yang tidak memiliki mesin politik yang kuat, partai politik tersebut akan berperan dalam koalisi pengajuan kandidat. Lebih dari itu parpol yang memiliki mesin politik yang kuat sampai di grass root akan menambah perannya dalam aktifitas-aktifitas pemenangan kandidatnya.
Komposisi partai politik di Jawa Barat saat ini memang tidak ada yang terlalu dominan kecuali PDIP dengan 20 kursi anggota DPRD Jabar. Diikuti partai golkar dengan 17 kursi anggota DPRD.
Dengan syarat 20% minimal dari total 100 kursi DPRD Jawa Barat untuk bisa mencalonkan pasangan kandidat, maka praktis hanya PDIP saja yang memungkinkan maju tanpa koalisi gabungan partai politik. Parta-partai menengan seperti Golkar, PKS, Demokrat, Gerindra, PPP, PKB, Nasdem, PAN, dan Hanura harus melakukan koalisi gabungan parpol diantara parpol menengah tersebut.
Koalisi diharuskan untuk memenuhi minimal 20 kursi sebagai syarat pengajuan calon pasangan.
Konstelasi politik nasional pasca Pilkada DKI Jakarta memang sangat mempengaruhi konstelasi Politik di Jabar 2018. PDIP mengaca pada pilkada tahun 2013 yang percaya diri dengan mesin parpol dan magnet kepala2 daerah yang mayoritas dikuasai partai berlambang banteng ini, pada 2018 nanti di prediksi akan kembali mengusung kadernya sendiri kembali. Perolehan suara Rieke-Teten pada 2013 cukup mengejutkan karena hamper mengalahkan incumbent.
Perolehan suara 2013, pemenang pemilu 2014, dan banyaknya kepala daerah di Jawa Barat yang berasal dari PDIP menjadi pertimbangan kuat untuk mencalonkan kadernya. Sebut saja jawa barat bagian timur, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Ciamis, Banjar, Pangandaran, Sumedang, Subang merupakan basis PDIP yang kokoh.
Deklarasi nasdem yang mendukung Ridwan Kamil untuk pilgub 2018 diyakini tidak akan berpengaruh terhadap keputusan PDIP. Di sisi lain Ridwan Kamil berbeda dengan Basuki Tjahja Purnama di Jakarta. PDIP tidak akan dengan mudah memberikan posisi jabar 1 kepada non kadernya. Menjadi permasalahan bagi PDIP Jawa Barat, bahwa suka tidak suka PDIP Jawa Barat saat ini minim stock kader yang memungkinkan untuk di usung dalam pilgub 2018 nanti. Beberapa opsi nama kader yang muncul yaitu Rieke Diah Pitaloka, Teten Masduki, TB Hasanudin.
Menjadi menarik jika memang PDIP akanmemunculkan kadernya sendiri, maka Pilkada Jawa Barat akan menjadi pertarungan Bintang. Siapa yang diuntungkan, tentunya rakyat Jawa Barat yang akanmeraup keuntungan karena tersedia banyak pilihan untuk pemimpinnya di 2018.
Poros Kedua yang memungkinkan yaitu poros pemenang pilkada DKI Jakarta yaitu PKS dan Gerindra. Para ketua umum kedua partai sudah secara lisan mendorong agar koalisi bisa dibangun kembali di Pilkada Jawa Barat.
PKS dan Gerindra hanya tinggal menunggu waktu untuk deklarasi koalisi merah putihnya. Menjadi soal ketika ditanya siapakah yang akan di usung, maka pertanyaan ini menjadi sulit di jawab bagi kedua partai ini. Seperti halnya PDIP kedua partai ini tidak memiliki kader yang kuat secara popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas.
PKS mungkin akan memaksakan istri Gubernur Petahana yaitu Netty Prasetiyani Heryawan dan Ahmad Syaikhu (wakil walikota bekasi sekaligus ketua DPW PKS Jabar), walaupun dikalangan kader dan tokoh-tokoh agama di Jawa Barat akan terjadi resistensi karena isu Politik Dinasti.
Gerindra memiliki opsi mengusung Dedy Mizwar dan Mulyadi. Dedy Mizwar memiliki peluang lebih besar untuk diusung oleh Gerindra. Di Poros ini pasangan yang moderat di usung yaitu Dedy Mizwar-Netty Prasetiyani Heryawan. Dedy Mizwar memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang cukup tinggi.
Poros Ketiga, yaitu Partai Demokrat, dengan kepemilikan 12 kursi DPRD, Partai Demokrat membutuhkan minimal 8 kursi DPR untuk bisa mengusung pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur. Dengan elektabilitas Dede Yusuf sebagai kader Partai Demokrat yang pernah bertarung di Pilgub 2013 lalu, masih memiliki basis massa dan pendukung yang kuat.
Opsi koalisi Partai Demokrat yaitu dengan PPP dengan 9 kursi dan PKB dengan 7 kursi. PPP masih menghadapi permasalahan internal partai, walau UU Ruzanul Ulum sudah mendeklarasikan diri maju di Pilgub 2018. Di sisi lain PKB sudah menawarkan kadernya yaitu Helmy Faishal Zaini untuk dipasangkan dengan kandidat lainnya. Koalisi ini bisa menjadi alternative perlawanan bagi kandidat lainnya. Jawa Barat merupakan Basis kuat PPP dan PKB karena kuatnya Nahdatul Ulama di Jawa Barat.
Poros Keempat yaitu Partai Golkar dengan 17 kursi DPRD hanya membutuhkan minimal 3 kursi tambahan untuk bisa mengusung Dedi Mulyadi yang sudah dipastikan maju dalam kontestasi di 2018 nanti. Salah satu alternatif parpol yang memungkinkan di gandeng sebagai partner koalisi adalah PAN. PAN memiliki tokoh yang cukup mumpuni yaitu Bima Arya Sugiarto (walikota bogor). PAN memiliki 4 kursi DPRD sehingga koalisi dengan Golkar menjadi pilihan menarik karena dua kandidat dari masing-masing parpol memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang baik.
Lalu bagaimana nasib Ridwan Kamil dengan Partai Nasdem-nya? Ridwan Kamil sudah memiliki modal elektabilitas yang tinggi dalam kontestasi pilgub Jabar 2018. Di sisi lain, Partai Nasdem hanya memiliki 5 Kursi DPRD, jika PKB dan hanura setuju dengan koalisi ini pun masih belum cukup untuk mengusung Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat. Opsi yang memungkinkan adalah dengan maju sebagai independen tapi tetap di dukung 3 partai tersebut.
Opsi-opsi pilihan koalisi tersebut tentunya akan berubah seiring konstelasi politik sebelum pendaftaran pasangan calon. Salah satu key parpol dalam perubahan konstelasi adalah PDIP dan Partai Golkar. Jika PDIP bersukarela mengusung Ridwan Kamil bersama Nasdem, PKB, dan Hanura, akan menjadi pertarungan menarik di Jawa Barat. Partai-Partai ini sebelumnya sudah bersatu di DKI Jakarta, walaupun pertimbangan strategi membuat mereka harus berfikir keras membuat differensiasi dari Pilgub Jabar 2018.
Pada Akhirnya Politik harus berorientasi pada kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan hidup Rakyat khususnya Jawa Barat. Semakin banyak pasangan calon yang berkualitas, rakyat semakin rasional dan pintar memilih pilihan berdasarkan. Program dan Janji Politik harus menjadi fokus tawaran kandidat. Transaksi politik dengan rakyat harus dikedepankan demi kemajuan Jawa Barat.
Oleh Ary Santoso, M.Si, CEO Indekstat Indonesia