Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Siapa Ibu Negara kita?
Diskursus soal itu sudah menyeruak sejak jauh hari. Puluhan tahun. Tiga kali pemilu selalu mencuat sebagai isu publik.
Pertanyaan itu menjadi misteri hingga kini. Bahkan setelah Jenderal (HOR) Prabowo Subianto memenangkan kontestasi sebagai presiden.
Mbak Titiek, dalam sebuah wawancara dengan Aiman hanya memberi statemen singkat. “Iya, kami pisah”. Tidak menggunakan diksi “cerai”.
Wawancara televisi pada tahun 2014, mbak Titiek justru membuat pertanyaan balik. “Memang ada buktinya di KUA”?. Maksudnya bukti perceraian.
Pada aspek legal masih menyimpan misteri bagi publik. Secara faktual, hubungan keduanya ditunjukkan sangat baik.
Keduanya juga tidak menjalin pernikahan baru dengan orang lain.
Terhadap misteri itu kita hanya bisa melakukan telaah melalui pendekatan konspiratif. Bisa jadi ada kisah besar dibalik semua itu. Kisah yang tidak terbahasakan.
Cerita-cerita yang beredar hanyalah gimmick. Bunga cerita belaka.
Pada saat keduanya berpisah pada tahun 1998, kita bisa mengimajinasikannya sebagaimana sequel akhir film The Troy. Ketika Priam, raja Troy, harus menghadapi pasukan gabungan Yunani.
Melalui strategi kuda troya, Yunani berhasil menembus benteng Troy dan memporakporandakannya. Membantai seluruh keluarga Priam.
Paris diperintahkan membawa istri den keluarga yang lain untuk melarikan diri. Melalui lorong rahasia. Untuk menghidari pembantaian dan menjaga kelangsungan Troy.
Terdapat kemiripan kisah itu dalam pergolakan kekuasaan di Jawa. Dikenal dengan “Tumpes Kelor”. Pihak keluarga yang berhasil dikalahkan dalam perebutan kekuasaan, dibasmi hingga habis.
Akan tetapi sebegitu dramatiskah tahun 1998 bagi keluarga Presiden Soeharto?. Perpisahan itu sebagai antisipasi skenario “tumpes kelor” politik?.
Sekali lagi kita hanya bisa menelaahnya melalui pendekatan konspiratif.
Rentetan tragedi 1965, Presiden Soeharto menjadi muara kemarahan. Pendukung dan simpatisan pahlawan revolusi ingin Presiden Soekarno diadili. Presiden Soeharto pasang badan dengan alasan mikul dhuwur mendem jero. Pada sisi lain, Presiden Soeharto dianggap menjadi penghalang utama komunis internasional. Dalam menjadikan Indonesia sebagai negara komunis terbesar ketiga di dunia.
Ia musuh abadi bagi komunis internasional.
Pada saat masih berkuasa, Presiden Soeharto dan keluarganya tentu tidak tersentuh. Berbeda ketika sudah lepas dari jabatan.
Semua kemarahan bisa saja ditumpahkan kepadanya. Pada saat tanpa perlindungan memadai.
Pada penghujung orde baru, Indonesia relatif superior dalam kancah Initernasional. Indonesia merupakan kandidat pemimpin negara-negara muslim yang jumlahnya 1/5 penduduk dunia. Pasar yang besar. Bukan hanya memimpin Non Blok. Akan tetapi juga Selatan-Selatan dan Asean.
Pada saat itu, dunia didesain sebagai arena pertengkaran baru oleh thesis Hutington. Benturan peradaban antara Barat dan Islam.
Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar harus “dipenggal” peranannya terlebih dahulu. Presiden Soeharto harus “dimatikan”.
Diruntuhkan superior politiknya. Agar “tinggal landas”, proyek landasan untuk menjadi negara maju, dimatikan.
Kita bisa menyaksikan betapa pasca Presiden Soeharto runtuh, Afganistan mudah ditembus. Irak dengan Sadam Husein. Libya dengan Muammar Qadhafi. Kedua pemimpin itu hingga tewas beserta keluarganya dalam sebuah peperangan.
Dunia Islam diobok-obok dunia barat. Melalui isu teroris.
Presiden Soeharto tentu mengkalkulasinya dengan rigid. Mungkin sudah membayangkan apa yang akan menimpa Sadam Husein dan Qadhapi. Maka ia menyatakan berhenti dengan kehatian-hatian tingkat tinggi. Termasuk antisipasi “tumpes kelor” politik itu.
Prabowo diselamatkan masa depannya. Ia disapih dari keluarga Soeharto yang sedang dimusuhi. Terbukti dikemudian hari ia bisa merebut kembali kepemimpinan bangsa ini.
Walau sempat dihambat oleh tudingan kasus penculikan aktivis. Bahkan Harus berkali-kali ikut pemilu.
Mungkinkah seperti itu jalan ceritanya?.
Apapun jalan ceritanya, kita tetap perlu respek terhadap keluarga Soeharto. Mereka dihadapkan situasi berat.
Harus ikut menanggung konsekuensi kebijakan negara yang diambil pada masa-masa sulit. Khususnya yang berdampak pada stabilitas kramanan.
Jika bangsa ini pernah menjadi sebab perpisahan cinta keduanya. Mungkin bangsa ini juga bisa menyatukannya kembali.
ARS ([email protected]), Bangka Jaksel, 09-03-2024
[***]