KedaiPena.Com – Serikat pekerja dan serikat buruh di sektor ketenagalistrikan kecewa dengan sikap Pemerintah dan DPR RI yang kejar setoran”terburu-buru mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020).
Kekecewaan tersebut disampaikan oleh Serikat pekerja dan serikat buruh di sektor kelistrikan yang tergabung dari SP PLN Persero, PP Indonesia Power, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk Indonesia.
Ketua Umum PPIP PS Kuncoro menyampaikan, Omnibus Law berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam subklaster ketenagalistrikan.
“Di mana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja. Hal ini akan mengakibatkan adanya pelanggaran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat,” kata dia, Selasa, (6/10/2020).
“Kami sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan. Tetapi aspirasi dan masukan yang kami sampaikan hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga tangan. Sebelumnya Para Wakil Rakyat telah berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai pegangan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, tapi nyatanya dalam pembahasan Subklaster Ketenagalistrikan janji tersebut terlupakan,” sambung dia.
Ia juga menjelaskan, hal nyata dari omnibus law yang paling mengancam sektor ketenagalistrikan di Indonesia adala peran DPR yang dihapuskan adalah hak dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Dengan dihapuskannya peran DPR, kata dia, apirasi masyarakat dan peran masyarakat dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional, tidak tersalurkan sehingga perencanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.
“RUKN sangat berperan penting penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan dalam pembangkit tenaga listrik, karena harga listrik ditentukan 70% dari bl jenis energi primernya. Oleh karena itu campur tangan para Wakil rakyat dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam Pembahasan RUKN. Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat,” beber dia.
Tidak hanya itu, lanjut dia, kembali dimasukkannya Pasal 10 Ayat (2) terkait Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik juga menyalahi keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 bahwa Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut tidak memiliki kekuatan Hukum.
“Pertimbangan MK dalam putusan tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara,” papar dia.
Selain itu, lanjut dia, munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP).
“Oleh karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat. Tidak hanya buruh, tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, masyarakat adat, akademisi, penggiat HAM, dan sebagainya,” ungkap dia.
“Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan PERPPU yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan, toh hal itu untuk kepentingan rakyatnya sendiri,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi