SIANG itu surya berapi sinarnya
Tiba-tiba redup langit kelam
Hati yang bahagia terhentak seketika
Malapetaka seakan menyelinap
Berita menggelegar aku terima
Kekasih berjuang di sana
Hancur luluh rasa jiwa dan raga
Tak percaya tapi nyata.
Sepenggal syair lagu di atas, insyaaloh melukiskan perasaan kehilangan, kepiluan bahkan raung tangisan militer Indonesia atau TNI, utamanya lapis generasi muda angkatan ’90-an ke sini.
Itulah lagu “Bing, Kapan Lagi”, yang dibawakan langsung sang penciptanya, Titik Puspa.
Siapapun boleh mengatakan, judul tulisan ini lebai atau berlebihan. Tapi sebagai purnawiran Jenderal, izinkan saya mencoba mewakili perasaan jujur para prajurit. Seperti tangisan Titik Puspa, ketika Bing Slamet dijemput wafat.
Bedanya, kali ini para serdadu TNI ditinggalkan Agus sang idola, untuk berjuang dan mengabdi di sisi seberang.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah idola sepantarannya. Ganteng, cerdas alias smart dan santun. Di mata lapis generasi muda TNI, AHY bukan hebat karena pernah menjadi anak seorang Presiden. Di jalurnya, dia mandiri. Dia adalah prajurit, berikut segala suka dan dukanya, seperti yang lain-lainnya.
Kecerdasannya, konon, foto kopi bahkan lebih jernih atau melampaui SBY, seniornya. Ini dibuktikan dengan tiga gelar Master, dari perguruan tinggi terkemuka luar negeri (NTU/Singapura serta Harvard dan Webster/AS).
Hebohnya, tiga Master itu diraih hanya dalam tempo 2-3 tahun dan di tahun yang sama. Dan ketiganya pula, lulus dengan summa cumlaude dengan IPK tertinggi. Hanya di NTU, Agus berada di nomor urut 2, setelah putra Presiden Timtim, Xanana Gusmao.
Menurut Panglima TNI, Agus merupakan salah satu prajurit, yang sedang dipersiapkan dan digadang-gadang, menjadi kader utama pimpinan militer/TNI, di masa depan.
Persimpangan atau lompatan jalur pengabdian prajurit (dari militer ke politik), seperti yang dilakukan AHY ini, sesungguhnya tidaklah aneh-aneh amat. Keputusan besarnya menjadi terasa aneh, justru karena keterkejutan dan kemasygulan kita saja.
Beritanya, memang tiba-tiba. Begitu mendadak. Menggelegar bak halilintar menyambar-nyambar.
Jagat militer, mungkin bagaikan kampanye Ki Dalang, saat goro-goro manjing wanci :
Sangsoyo dalu araras, katon abyor lintang kumedap. Ooooo, langit kelap-kelip (byar-pet/on-off), mendhung gemulung, bledhek nyampar nyandhung, udan deres koyo pinusus, peteng ndhedhet lelimengan.
Di lain waktu dan tempat, tentu kita sangat kenal dengan Jhon F Kennedy (JFK). Dialah Presiden ke-35 AS, yang berkuasa amat singkat. Dia berkuasa hanya 3 tahun (1961-1963) karena wafat oleh penembak misterius. Akan tetapi, nama dan legasinya, menjadikan JFK seorang presiden paling dikenang oleh masyarakat AS.
Maaf, saya tida sedang mensejajarkan AHY dengan JFK. Saya hanya ingin membantu mengurangi kemasygulan diri ini, sekaligus memastikan, langkah Agus tidaklah salah.
Walaupun Agus terbata-bata saat pamitan kepada TNI, almamaternya, Agus tidak sedang menyesali keputusan besar dan langkah yang telah diambilnya. Apalagi, Agus tengah dengan bodohnya merintis jalan bunuh diri.
AHY sama dengan JFK, yang mengakhiri dinas militernya dengan pangkat Letnan. Seperti Agus, JFK sudah lebih dulu pamit dari militer, untuk menyeberangi samudera politik, sekembalinya dari penugasan di Samudera Pasifik.
Agus, sejatinya menapaktilasi JFK. Semoga Agus Harimurti Yudhoyono, sama bahkan lebih gemilang lagi, seperti makna dan doa yang terkandung dalam namanya. Selamat jalan prajuritku. Doa kami menyertaimu.
Jangan pernah pergi mencari, tapi kembalilah membawa kemenangan. Kemenangan Rakyat Jakarta, yang rindu akan kesantunan, moralitas dan kecerdasan dalam kepemimpinan.
Kapan lagi kita kan bercanda
Kapan lagi bermanja
Kapan lagi latihan bersama lagi
Kapan, … oh kapan lagi
Tiada hari seindah dulu lagi
Tiada mungkin kembali
Tiada nama seharum namamu lagi
Tiada … tiada Agus lagi
Oleh Aziz Ahmadi, Purnawirawan TNI