RIBUAN santri telah berangkat ‘long march’ (jalan panjang) dari Ciamis menuju Jakarta, kemarin, 28 November. Mereka ingin ikut aksi “Bela Islam 3”, Penjarakan Ahok, sang penista agama. Ini adalah aksi revolusioner anak anak muda Sunda yang selalu menghiasi sejarah bangsa kita.
Bayangkan jarak tempuh 270 KM yang biasanya bisa ditempuh 6 sampai 8 jam dengan mobil bus, akan di tempuh mereka dengan berjalan kaki selama 3 atau 4 hari.
Di masa lalu, awal kemerdekaan, mereka melakukan aksi Long March Siliwangi. Saat itu perjanjian Renville mengeluarkan Jawa Barat dari Indonesia. Demi kepatuhan pada Soekarno, tentara divisi Siliwangi ini pindah ke Jawa tengah. Sebagiannya bisa naik kereta api, dan kapal laut. Namun, sebagian besar pula berjalan kaki.
Juga, di masa akhir Orde Lama, anak-anak mahasiswa Bandung juga ‘long march’ ke Universitas Indonesia, untuk bersama sama melakukan tuntutan Tritura kepada rezim Bung Karno.
Selain itu ada ‘long march’ perjuangan mahasiswa di Jawa Barat, seperti ‘long march’ Bandung-Badega, tahun 1989 menuntut dikembalikannya tanah petani Badega yang dirampok pengusaha. Satu lagi ada ‘long march’ Bandung ke Jakarta semasa rezim Megawati.
Mungkin banyak juga catatan ‘long march’ lainnya yang kurang terekam sejarah dari tanah Sunda ini. ‘Long march’ dan militanisme dalam tradisi perjuangan memang menjadi sumber energi dan spirit yang sangat dahsyat.
Para peserta ‘long march’ akan bertemu dengan rakyat di sekitarnya dan saling membagi cerita perjuangan mereka. Sebuah penciptaan militansi. Bagi ummat Islam, ‘long march’ bukan merupakan barang impor.
Meskipun ‘long march’ Mao Ze Dong dan Partai Komunis China tercatat terpanjang dan terlama dalam sejarah dunia, namun ‘long march’ kaum sipil sudah ada sejak Rasulullah berpindah dari Mekkah ke Madinah.
Dan sebaliknya dari Madinah ke Makkah dalam kisah penaklukan Mekkah melawan Kafir Quraish. Jarak Mekkah ke Madinah lebih jauh dibanding dengan Ciamis ke Jakarta. Namun, tantangan gurun pasir dan panas terik matahari jazirah Arab, lebih menunjukkan beratnya beban masa Rosul tersebut dibandingkan ‘long march’ ummat Islam Ciamis Jakarta.
Spirit ‘long march’, tentu fenomenal. Spirit ‘long march’ di Cina menghasilkan negara RRC yang saat ini kita kenal. Sebuah negara adidaya. Spirit ‘long march’ Rasulullah, berhasil menciptakan sebuah konsep negara dalam Islam, yang disebut “negara Madinah”.
Selain itu, berhasil menaklukkan Mekkah dari kalangan kafir Quraisy. Sebuah kiblat bagi miliaran manusia didunia. Peranan ulama dalam ‘long march’ Siliwangi tentu sangat besar, karena divisi militer masa itu kebanyakan dari laskar-laskar perjuangan Islam.
Dan ‘long march’ Ciamis ke Jakarta saat ini juga merupakan pengaruh ulama yang mendorong semangat mereka berkorban dan berjuang. Tentu bagi ulama, inspirasi ‘long march’ ini bersumber dari perjuangan Rasulullah. Ajaran militanisme.
Ulama dan Masa Depan Kita
Keberhasilan ulama dalam membangkitkan semangat ummatnya, tanpa takut, menghadapi penista agama dan cukong cukongnya sekarang ini, merupakan pintu masuk bagi bangsa kita ke depan untuk bangkit. Seorang begawan ekonomi Universitas Indonesia, yang menyelamatkan keberlangsungan eksistensi pasal 33 UUD45 dari gerakan amandemen,
Professor Sri Edi Swasono, merasa bahwa dengan tidak bisanya ulama ulama dikendalikan asing dan cukong, memberi asa untuk Indonesia bisa menghadapi ancaman strategis bangsa bangsa asing yang ingin menjajah kita kembali.
Prof Sri Edi menginginkan saya mengutip ucapannya, yang baru tadi malam disampaikannya. “Saya malu sama Habib Rizieq. Saya dipanel dengan Rizieq dan dua orang senior sesepuh intelektual mantan jenderal TNI diskusi Pancasila dan Komunisme, di Jakarta beberapa bulan lalu. Ternyata Rizieq lebih menguasai Pancasila daripada kami bertiga. Bahkan Rizieq tanpa teks sama sekali. Untunglah saya, karena moral saya lebih kuat, karena ayah saya dibunuh PKI, saya coba mengimbangi kemampuan Rizieq itu”.
Selain merasa malu melihat kaum cendikiawan dan perguruan tinggi hidup di “menara gading”, professor Sri Edi, di masa tuanya baru sadar bahwa hanya ulama lah yang bisa melakukan perubahan besar negeri ini, sebagai pioneer. Tentu Rizieq bukan satu satunya ulama yang tidak bisa “dibeli” asing dan cukong cukong.
Berbagai ulama yang bahu membahu menyadarkan ummat untuk melawan Ahok sebagai representasi cukong cukong rasis tentunya ulama ulama yang masih sesuai dengan makna ulama sesungguhnya. Makna ulama dalam pengertian sesungguhnya adalah ilmuan berbasis agama, sekaligus menjadi penunjuk jalan ummatnya di Jalan Tuhan.
Berbeda dengan cendikiawan biasa, ulama tidak menggunakan akal bebas, melainkan menterjemahkan Wahyu Ilahi. Lalu bagaimana kaitan ulama dan masa depan bangsa? Pertanyaan ini penting menjawab adanya kecurigaan segera mendominasinya peranan Islam dalam percaturan politik kita ke depan.
Berbagai upaya sudah dilakukan kelompok kelompok kontra Islam. Mereka menebarkan spanduk2 dan baliho besar tokoh tokoh kemerdekaan Indonesia, dari beragam suku dan agama, di seantero Jakarta.
Juga spanduk “Semua Kita Bersaudara”. Ada juga spanduk yang mempromosikan kebhinnekaan bangsa. Dll. Bahkan, berbagai aksi, diskusi dan parade kebhinnekaan dilakukan. Lebih mengerikan lagi, baru batu ini, seperti yang dilakukan Boni Hargens, seorang pembela Ahok sejati, berusaha menista ulama besar NU, KH. Makhruf Amin, dengan mempostingkan di tweeter foto ulama tersebut dengan istrinya yang disertai kata kata melecehkan.
Situasi objektif yang terjadi saat ini memang arahnya adalah perang saudara, mengulangi tahun 1965. Sebuah “Clash of Civilization” yang rumit. Rumitnya, jika meniru Sudan, maka sebuah negara mungkin bisa pecah secara mudah, membagi dua berdasarkan wilayah, menjadi Sudan dan Sudan Selatan.
Sedangkan pertarungan dua kelompok masyarakat di Indonesia saat ini susah untuk dibagi berdasarkan wilayah. Akibatnya, korban akan sangat besar nantinya dan bersifat lebih lama. Ummat Islam melihat musuh musuhnya sebagai keberlanjutan Kolonialisme Penjajahan, yang menyingkirkan Islam dan Pribumi, sementara yang anti Islam, menuduh Islam sebagai ajaran personal yang tidak punya hak konstitusional mengatur urusan negara dan bangsa.
Orang-orang yang merasa tersingkirkan dari pembangunan dan kemajuan nasional akibat salah urus negara, melihat ulama dan Islam sebagai tumpuan harapan mereka. Sebaliknya, masyarakat anti Islam akan berlindung pada negara yang semakin liberal dan kapitalis. Kita tentu perlu mengukur siapa akhirnya lebih kuat dalam menentukan nasib bangsa kita.
Jika kaum ulama lebih kuat dan dipercaya rakyat, maka nantinya arah bangsa ini akan dikendalikan para ulama. Jalan lain kelihatannya sudah buntu. Sebab, semangat pertikaian dan pertentangan sudah lebih besar daripada membangun kesefahaman dan sinergisitas.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle