Artikel ini ditulis oleh Ahmad Daryoko, Koordinator Invest.
Sebagai rakyat, penulis terbengong melihat siaran pers Kejaksaan Agung yang mengumumkan telah menetapkan berbagai pihak sebagai tersangka ekspor minyak goreng.
Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi liberal? Artinya, wajarlah kalau harga “migor” pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik.
Komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.
Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya.
Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal.
Yang dimaksud Negara harus hadir di tengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak atau menangkap para pedagang.
Apapun alasanny, prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi ‘supply and demand‘, bukan mekanisme tangkap menangkap ala aparat huku dan keamanan.
Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, sistem harus tetap di bawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.
Atau kalau me-‘refer’ doktrin Islam. Ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini.
Dalam sebuah hadist, “Almuslimuuna shuroka’u fii shalasin fil ma’i wal kala’i wan nar, washamanuhu haram“.
Yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energi, listrik, batubara, BBM, gas).
Atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.
Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadist di atas, ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh perkebunan negara).
Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai “public good“, jangan diserahkan ke taipan naga (“commercial good”).
Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi “commercial good” dan tidak bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas.
Dan mestinya aparat hukum dan keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar.
Begitu juga untuk BBM, batu bara, dan listrik. Komoditas-komoditas ini mestinya diperlakukan sebagai “public good“.
Tetapi para “peng-peng” (pengusaha merangkap penguasa) seperti Luhut Binsar Panjaitan, Jusuf Kalla, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut “main” di sini.
Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi “commercial good” yang susah dikendalikan.
Kesimpulannya, rezim ini telah mengubah beberapa komoditas dari “public good” menjadi “commercial good“.
Tetapi tiba-tiba mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah telah melakukan pelanggaran terhadap “public good“.
Terus ngapain teriak teriak nawacita? Rezim “bingung”!
[***]