Artikel ini ditulis oleh Dr. Kurtubi, Pengamat Energi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019.
Kita ketahui bersama bahwa Negara/APBN memberikan subsidi BBM dan LPG yang sangat besar disaat harga minyak dunia tinggi, sekitar $100/bbls. Inflasi yang terjadi di Indonesia relatif sangat rendah, hanya sekitar 4.9 persen. Kita berterima kasih atas capaian inflasi yang rendah ini, terutama disebabkan oleh selain kebijakan subsidi BBM juga oleh capaian produksi beras nasional yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tanpa harus import beras.
Tingkat inflasi di negara kita jauh lebih rendah dari tingkat inflasi yang melanda sebagian besar negara-negara diseluruh dunia, termasuk di negara-negara industri maju di Eropah, Amerika dll.
Dampak kumulatif dari pandemi covid-19 ditambah dengan dampak gejolak politik dan ekonomi dari invasi Rusia terhadap Ukraina sangatlah besar.
Terjadi krisis pangan dan energi melanda seluruh dunia. Secara bersamaan telah nenimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan dan energi yang menjadi pemicu utama atas kenaikan harga barang dan jasa yang berujung dengan tingkat inflasi yg tinggi diseluruh dunia. Meskipun Bank Sentral di semua negara industri maju sudah menerapkan kebijakan Ekonomi Moneter yang standard dengan utak-atik menaikkan tingkat suku bunga setiap bulan atau periode tertentu. Namun faktanya hingga kini inflasi di negara-negara industri maju dan di negara berkembang, masih tinggi
Meskipun harus juga diakui bahwa rendahnya tingkat inflasi yang hanya 4.9 persen ini harus dibayar oleh Negara/APBN dengan jumlah subsidi dan konvensasi BBM dan LPG hingga melebihi Rp500 T.
Jika Pemerintah belakangan ini menganggap jumlah subsidi ini terlalu besar dan sangat memberatkan APBN yang konon bisa menyebabkan negara sampai pailit. Pemerintah sebenarnya tidak perlu terkesan ‘panik’ atau terkesan ‘gagal faham’ bahwa yang dihadapi oleh Sektor Migas nasional sebenarnya adalah masalah produksi yang sangat rendah, bukan soal subsidi.
Ditengah keberhasilan pengendalian inflasi, Pemerintah tiba-tiba berencana untuk segera menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal tingginya besaran subsidi hingga melebihi Rp500 T, sudah terbukti berhasil mengendalikan inflasi. Sebenarnya masalah tingginya beban subsidi migas atau energi dalam APBN saat ini, bisa dicarikan solusi untuk ‘nomboki’ APBN dengan kebijakan yang efektif efisien sesuai konstitusi dengan cara menyempurnakan pengelolaan Sumber Daya Energi Batubara agar lebih sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi.
Menaikkan harga BBM dan LPG bersubsidi saat ini masih belum tepat, karena sangat berisiko untuk menjadi kontraproduktif. Karena akan menurunkan daya beli rakyat, menaikkan inflasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai bangkit.
Inti masalah yg dihadapi oleh Sektor Migas Nasional selama dua dekade ini bukanlah soal subsidi, melainkan soal produksi yang sangat rendah, yang seharusnya perlu dicarikan jalan keluar oleh Pemerintah agar produksi Migas bisa ditingkatkan dan dipulihkan kembali hingga mencapai level sebelum berlakunya UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti menjadi penyebab terus anjloknya produksi selama dua dekade terakhir ini.
Adapun solusi atas tingginya subsidi BBM dan LPG saat ini, bisa dilakukan dengan jalan Presiden menerbitkan Perpres tentang Kenaikkan Prosentase Pajak dan Royalti dari Kegiatan Usaha Penambangan SDA ENERGI Batubara sedemikian rupa, sehingga Pajak dan Royalti yang dibayar oleh Penambang batubara ke Negara/APBN menjadi lebih besar dari Keuntungan bersih yang diperoleh oleh Penambang batubara. Misalnya dengan mengacu praktik Kontrak Bagi Hasil di Sektor Migas yang sudah berjalan lebih dari 50 tahun. Dimana Negara/APBN dipastikan memperoleh bagian lebih besar, sebesar 65 persen dan Investor/Penambang Migas memperoleh Keuntungan bersih sebesar 35 persen setelah pengembalian semua biaya explorasi dan produksi berupa Cost Recovery. Bahkan pernah terjadi pada saat ‘oil boom’ dimana harga minyak dunia melejit tinggi. Presiden RI mengeluarkan kebijakan merubah porsi bagi hasil menjadi 85 persen untuk Negara/APBN dan 15 persen untuk Investor/penambang migas, pada saat terjadi kenaikan harga ninyak dunia pertama kali secara signikan dalam sejarah perminyakan. Dimana harga minyak dunia melejit pertama kali dari sekitar harga $3/bbls yg terjadi selama hampir 1 Abad, kemudian naik ke level diatas $30/bbls akibat Perang Arab Israel dan Revolusi Iran.
[***]