BULAN September tahun ‘48 Bung Hatta menggambarkan posisi Indonesia yang baru merdeka ibarat kapal di tengah laut, yang bukan hanya harus mengarungi gelombang badai dan cuaca pancaroba, tapi juga harus melewati dua karang besar yang siap menghadang yang bisa saja menyebabkan kapal karam ke dalam laut.
Untuk mendayung melewatinya dibutuhkan sikap politik yang tegas, bebas, dan aktif serta sikap percaya diri yang tinggi.
‘’Kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, harus menjadi subyek, yang berhak menentukan sikap kita sendiri,’’ tegas Bung Hatta di dalam tulisannya, ‘’Mendayung Antara Dua Karang’’.
Penggalan paragraf yang terkenal itu yang kemudian kita sebut ‘’politik bebas-aktif’’ selanjutnya jadi dasar sikap politik luar negeri Indonesia.
Walaupun kini sikap politik itu di dalam prakteknya menjadi abu-abu. Sehingga alih-alih sanggup mendayung, yang terjadi jangan-jangan kita bakal tenggelam di antara banyaknya karang.
Waktu itu yang dimaksud dengan ‘’dua karang’’ tidak lain adalah Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Akan halnya jalan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, yang tidak menghamba kepada kepentingan asing, Hatta yang lama bermukim di Belanda (selama sebelas tahun) tampaknya menghayati juga bahwa jalan ekonomi Indonesia Merdeka haruslah pula jalan yang berada di posisi tengah.
Waktu itu Hatta dari beberapa negara di Eropa yang dikunjunginya menyaksikan dengan mata kepala sendiri dampak buruk kapitalisme yang ugal-ugalan dan faham komunisme yang mengamuk dengan daya rusaknya.
Karena itu Hatta meletakkan dasar ekonomi konstitusi untuk negeri ini yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat dan bangsa sendiri.
Suatu hari tatkala tidak lagi menjadi wakil presiden pada medio Maret 1980, beberapa waktu menjelang wafatnya, Bung Hatta bahkan merasa perlu mengingatkan kembali bahaya liberalisme/neoliberalisme ekonomi yang hingga kapan pun menurutnya akan terus menjadi pemicu ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial di negeri ini.
Dua pokok pikiran penting ini, yaitu pentingnya memegang teguh prinsip politik luar negeri yang bebas aktif dan sikap anti neoliberalisme, apabila dirunut kembali adalah merupakan tema yang termasuk seringkali disuarakan oleh tokoh nasional dan calon presiden Dr Rizal Ramli.
Saat bersilaturrahim dengan masyarakat Minang yang akan pulang mudik pada 17 Juni lalu misalnya, ketika menjawab pertanyaan wartawan seusai acara, Rizal Ramli kembali menekankan tentang pentingnya memegang teguh prinsip kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.
Menurutnya, jangan karena pertimbangan pragmatis dan karena proyek, Indonesia kini nampak terlalu mesra dengan Tiongkok (China).
‘’Ini tidak bagus jika dilihat dari kewibawaan kita berdasarkan amanat konstitusi,’’ kata penggagas diubahnya nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara dan banyak legacy internasional lainnya saat menjadi Menko Maritim & Sumber Daya ini
Rizal Ramli menceritakan sangat sering ditanya mengenai posisi Indonesia di dalam percaturan geopolitik saat ini, dimana masyarakat dunia dulu mengenal Indonesia memiliki prinsip politik bebas-aktif.
Saat berkunjung ke Amerika baru-baru ini misalnya Rizal Ramli termasuk banyak dicecar pertanyaan ini oleh para tokoh Partai Republik di sana. Rizal sendiri sebagai tokoh nasional dan negarawan menjelaskannya secara bijaksana serta memberikan pemahaman sebagai seorang tokoh nasionalis sejati.
Konferensi Asia-Afrika, 1955, di Bandung, adalah salah satu contoh legacy dwitunggal Sukarno-Hatta yang merupakan tonggak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia.
Hasil KTT Non Blok di Beograd, Yugoslavia, pada 1961, yang merupakan tindaklanjut dari Konferensi Asia-Afrika bukan hanya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia, forum itu juga menugaskan Sukarno dan Nehru (Perdana Menteri India) untuk menjalankan misi menyuarakan sikap negara-negara Non-Blok.
Nehru ditugaskan ke Uni Soviet menemui Kruschev, sedang Sukarno ke Amerika menemui Kennedy.
Dalam waktu pertemuan yang terbatas itu Sukarno yang lincah bersikap ‘’menyelam sambil minum air’’, ia menyisipi pembicaraan mengenai konflik Indonesia dengan Belanda dalam persoalan Irian Barat sekaligus minta bantuan Alutsista.
Sayang beberapa waktu kemudian Kennedy tertembak mati dalam tragedi politik di Dallas.
Harus dikatakan Dr Rizal Ramli hingga kini satu-satunya calon presiden yang bersikap konsisten terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, yang merupakan legacy dwitunggal Sukarno-Hatta dan founding fathers.
Visi internasional seorang calon presiden adalah sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sosok calon presidennya.
Apakah ia hanya seorang jago kandang, figur dadakan yang digelembungkan oleh pencitraan, ataukah benar-benar tokoh yang memiliki kemampuan internasional sebagaimana yang telah banyak dibuktikan oleh Dr Rizal Ramli dengan reputasi, prestasi, serta jaringannya yang luas di dunia internasional, baik sebagai ekonomi senior pro rakyat, saat menjadi pejabat tinggi, bahkan ketika sudah tidak menjabat.
Sosok seorang calon presiden dengan visi internasional adalah sangat dibutuhkan untuk menegakkan kembali raut wajah Indonesia di hadapan dunia yang belakangan ini semakin pucat pasi dan hilang percaya diri.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior