Artikel ini ditulis oleh Adityo Fajar, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh.
Pada 1848 Pilpres Amerika digelar. Perhelatan elektoral dilangsungkan persis seusai Perang Amerika-Meksiko kelar. Presiden ke-12 akan dipilih selekasnya. Ada tiga kandidat primer dalam kontestasi. Sepasang calon berlatar militer dan seorang pengacara berdarah Belanda. Pengacara itu tak lain Martin Van Buren, presiden non WASP (White, Anglo-Saxon, Protestants) pertama Amerika.
Seorang badut terkenal, bernama Dan Rice, memeriahkan pilpres dengan menggambarkan diri turut mencalonkan diri. Tentu saja Dan Rice tidak serius, kecuali melakukannya sebagai humor dan hiburan. Rice membawa kereta musik (bandwagon) keliling kota. Tingkahnya menarik perhatian khalayak luas. Sebab segar dan menyenangkan, kerumunan dan sorak sorai pun terbentuk. Maka, dimana ada kerumunan, di sana ada pasar. Tanpa kecuali ‘pasar politik’.
Pada suatu waktu, calon presiden Zachary Taylor diajak Rice berkampanye di kereta musiknya. Taylor menyambut ajakan itu. Taylor mantan jenderal, namanya melambung selama perang melawan negeri jiran. Dia paham mengelola pertunjukan dadakan itu. Di sana Taylor mengangkat Rice sebagai ‘Kolonel Kehormatan’. Politisi dan badut terlihat serasi mengambil peran.
Metode parau guna merebut perhatian ini lantas makin populer. Dibuah bibirkan dimana-mana. Banyak politisi mulai mencari kursi di kereta musik, berharap mengerek popularitas. Mereka tak segan meniru. Ikut-ikutan. Memplagiasi duo Rice dan Taylor. Puluhan tahun kemudian, peristiwa ini melahirkan vokabuler politik: ‘bandwagon effect’ (efek kereta musik).
Adalah maha penting meraih perhatian besar dalam kandidasi politik. Pelaku politik akan melakukan segala ikhtiar menuju ke sana. Mereka mencari ‘kereta musik’-nya masing-masing. Kredonya sederhana, bagaimana akan didukung jika tak dikenal. Lebih-lebih kita sekarang hidup dalam rejim survei. Angka-angka lembaga survei bak bersabda tentang hari depan politik akan bermuara.
Dan seorang pria melakukan upaya yang tasdik belaka itu. Sepakbola disasarnya. Dia memang dilengkapi reputasi global di bidang ini. Namun menjadikan sepakbola sebagai ‘kereta musik’ rupanya tak selancar yang diduga. Terasa amat pelik. Selepas Piala Dunia U-23 batal digelar, Tuan ini berupaya mendatangkan juara dunia, Argentina. Tim dengan pesepakbola paling brilian di abad 21, Lionel Messi.
Mulanya rencana ini tak terhalangi menjadi cerita sukses. Tiket pertandingan ludes dalam sekejap, lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk membuat mie instan. ‘Kereta musik’ berpenonton kolosal pun sudah ditetapkan tanggal pementasannya. Sepekan sebelum laga, tersiar kabar tak nyaman. Messi batal ke Jakarta. Sebuah potensi antiklimaks yang tak terduga tengah mengancam. Kadang kalkulator politik bisa error di waktu yang tak diinginkan.
Keriuhan sontak meledak. Instagram Tuan diserang ramai-ramai warga net. Pemegang tiket kecewa membayar mahal tanpa kehadiran protagonis utama. Menarik dinanti apa yang akan terjadi di tanggal 19 Juni, hari dimana pertandingan akan dihelat, hari yang persis berjarak hanya empat bulan dari pendaftaran Capres dan Cawapres resmi dibuka.
Memakai sepakbola untuk siar politik bukanlah barang baru. Pada 5 Oktober 1988 referendum Chile akan digulirkan. Jajak pendapat ini memungkinkan berakhirnya kediktatoran Augusto Pinochet. Sang Dikatator tengah menghadapi senjakala kekekuasan. Empat hari sebelum referendum, Pinochet mengambil langkah berani. Dia menawarkan 300 juta peso demi pembangunan stadion baru Colo Colo.
Colo Colo merupakan klub terbesar dan paling berpengaruh di seluruh negeri. Basis penggemarnya besar. Koran La Tercera mengangkat rencana Pinochet besar-besaran di halaman muka. Proposal Pinochet menjadi alat komunikasi politik baru yang menyulitkan oposisi. Orang Chile penggila akut sepakbola, punya stadion baru merupakan impian. Tetapi sejarah pada akhirnya ditulis dengan tinta dan kalimat yang tak dimaui Pinochet. Dia kalah. Sepakbola gagal dipakai.
Messi mungkin urung tiba di Stadion GBK. Karenanya La Pulga meleset dijadikan Dan Rice. Peraih Balon d’ Or tujuh kali ini besar kemungkinan tak mengerti dan tak peduli konteks politik negeri yang akan dikujungi. Toh, Messi memang pesepakbola ulung, dan sama sekali bukan badut selayaknya Dan Rice. Sehingga maaf Tuan, (sementara) sepakbola bukanlah bandwagon politikmu.
[***]