KedaiPena.Com – Fraksi PAN DPR RI memiliki sejumlah catatan kritis terkait dengan pengesahan Rancangan Undang-undang Omnibus Law atau Cipta Kerja (Ciptaker). Fraksi PAN memahami dan menyetujui disahkannya RUU menjadi UU, namun demikian tetap memberikan catatan kritis.
“Catatan-catatan kritis ini kami himpun dari masyarakat. Ini adalah akumulasi dari aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN. Namun harus disadari, Fraksi PAN tentu tidak bisa sendiri dalam menyuarakan dan memperjuangkannya. Karena itu, tidak heran jika tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU,” Ketua Plh Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, Senin, (5/10/2020).
Adapun catatan-catatan kritis dari Fraksi PAN tersebut adalah terkait dengan RUU Omnibus Law antara lain terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Karena itu, tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa hasil dari RUU ini kurang optimal.
“Oleh karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas,” tegas Saleh.
Sedangkan dari sektor kehutanan, kata Saleh, Fraksi PAN menilai aturan yang ada dalam UU Omnibus Law masih mengesampingkan partisipasi masyarakat, terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan.
“Masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan,” papar Saleh.
Untuk sektor pertanian, lanjut Saleh, Fraksi PAN mendorong pemerintah agar keran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani.
“Adalah fakta, bahwa tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Fraksi PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker,” tegas Saleh.
Fraksi PAN menilai, ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya dalam Pasal 4A bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare), sekalipun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH, berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.
“Self declare ialah pengakuan sepihak, yang belum tentu bisa diverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, semestinya RUU Ciptaker ini bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui Lembaga yang resmi dan disetujui,” ungkap Saleh.
Anggota Komisi IX DPR RI ini menambahkan, dalam bidang ketenagakerjaan, Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing.
“Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU ini,” papar Saleh
Fraksi PAN menilai, lanjut Saleh, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan terkait dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan atau penyediaan jasa pekerja dan buruh dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.
“Dengan demikian akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan. Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Saleh.
Saleh menegaskan, dalam Pasal 88B dijelaskan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil.
“Fraksi PAN menilai, ketentuan ini berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh, di antaranya penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya didapatkan pekerja/buruh. Karena itu, Fraksi PAN menilai ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan pekerja dan buruh.
Saleh menegaskan, fraksi PAN menilai bahwa jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji. Hanya saja yang membuat berbeda ialah pesangon itu tidak saja dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi juga dibayar oleh Pemerintah.
“Saat terjadi pemutusan hak kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon. Namun Fraksi PAN menilai bahwa skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN),” tandas Saleh.
Laporan: Sulistyawan