BELUM lama berselang Pertamina mengumumkan laporan keuangan semester pertama 2020 (1H2020). Hasilnya membuat Masyarakat terkejut. Pertamina rugi Rp 11 triliun selama 1H2020. Atau 761,2 juta dolar AS.
Masyarakat bertanya-tanya. Kenapa bisa rugi. Padahal Pertamina sudah “disubsidi” oleh rakyat, meskipun terpaksa. “Subsidi paksa” yang dimaksud adalah masyarakat membeli BBM dengan harga sangat mahal sekali. Jauh di atas harga normal, atau harga pantas, atau harga konstitusi.
Karena, harga jual eceran BBM di dalam negeri seharusnya sudah turun sejak lama. Baik berdasarkan kepantasan dan moral maupun berdasarkan peraturan yang merupakan turunan dari undang-undang (UU).
Di mana harga BBM seharusnya disesuaikan setiap bulan dengan formula perhitungan tertentu mengacu harga internasional yang sudah mengalami penurunan tajam sejak awal 2020.
Apa mau dikata, ternyata tidak ada penyesuaian harga. Rakyat harus bayar “subsidi paksa”. UU ditabrak? Tidak masalah. Si lemah tidak bisa berbuat apa-apa. Mau menuntut? Silakan. Si kuat memang kuat segalanya. Juga kuat di pengadilan.
“Subsidi paksa” yang diberikan masyarakat kepada Pertamina sangat besar sekali. Mungkin mencapai Rp 28 triliun. Atau bahkan lebih. Kita tidak tahu secara pasti karena tidak ada data detil. Hanya pemerintah (dan Pertamina yang tahu). Mungkin DPR juga tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Tapi kita bisa memperkirakan berapa penurunan harga BBM yang wajar selama pandemi. Dengan memperhatikan perubahan harga BBM di negara lain. Karena BBM adalah produk universal yang mengacu pada harga internasional yang sama. Homogen.
Kita bisa tengok harga BBM di Malaysia. Karena mereka mempublikasi perubahan harga BBM secara mingguan. Berbahagialah rakyat Malaysia.
Malaysia hanya jual 3 jenis BBM: RON95 (sejenis Shell V-power), RON97 (sejenis Pertamax Turbo) dan Diesel. Harga ketiga jenis BBM tersebut semua turun sekitar 40 persen pada periode 11 April sampai 15 May 2020.
Dikonversi ke rupiah, harga BBM (RON95) di Malaysia turun rata-rata Rp 1.500 per liter pada Maret 2020, Rp 2.800 per liter pada April 2020, Rp 2.570 per liter pada Mei 2020, dan Rp 1.700 per liter pada Juni 2020. Dibandingkan harga per akhir Februari 2020.
Kalau penurunan harga ini kita adopsi untuk Indonesia, artinya kalau Pertamina se-adil Petronas, maka ada lebih bayar kepada Pertamina sekitar Rp 5,4 triliun, Rp 8,6 triliun, Rp 8,9 triliun, dan Rp 5,8 triliun pada Maret, April, Mei dan Juni 2020. Total Rp 28 triliun lebih. Atau hampir 2 miliar dolar AS.
Perhitungan ini diperoleh dari penjualan gasoline dan gasoil bulanan dikali selisih (potensi penurunan) harga rata-rata bulanan. Penjualan Maret hingga Juni masing-masing 115,79 ribu KL, 102 ribu KL, 111,9 ribu KL dan 113,81 ribu KL.
Tentu saja perhitungan ini hanya perkiraan berdasarkan data dan informasi yang dimuat di berbagai media. Perhitungan rincinya ada di Pertamina, semoga berkenan memberi koreksi.
Dengan mendapat “subsidi paksa” dari masyarakat, mustahil Pertamina rugi. Apalagi untuk Unit Penjualan BBM. Dari laporan keuangan yang dipublikasi, Pertamina memang secara operasional dapat dibilang tidak rugi selama 1H2020.
Penjualan 1H2020 tercatat 20,48 miliar dolar AS, dengan Laba Bruto 1,61 miliar dolar AS. Beban Usaha dan Umum mencapai 1,67 miliar dolar AS. Sehingga Laba Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) hanya minus 0,06 miliar dolar AS, atau tepatnya 58,3 juta dolar AS saja.
Anehnya, dalam kondisi rugi seperti ini, Pertamina harus bayar PPh 702,9 dolar AS. Sehingga total Rugi Bersih setelah PPh menjadi 761,2 juta dolar AS.
Ini sangat menarik. Kok bisa, Laba Sebelum PPh hanya 58,3 juta dolar AS tetapi dikenakan PPh 702,9 juta dolar AS? Jumlah PPh ini setara Laba hampir 3 miliar dolar AS. Artinya, ada Unit di Pertamina yang membukukan laba sangat besar sekali. Hanya ada satu kemungkinan untuk itu, yaitu Unit Penjualan BBM yang “disubsidi rakyat” 2 miliar dolar AS, atau bahkan lebih.
Keuntungan Unit Penjualan BBM tersebut untuk menutupi rugi unit-unit lainnya, sehingga hanya menghasilkan Laba Bruto 1,61 miliar dolar AS. Dan Rugi Bersih sebelum PPh 58,3 juta dolar AS.
“Subsidi paksa” telah menyelamatkan Pertamina. Rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian raksasa. Mohon Pertamina, DPR dan Meneg BUMN berkenan memberi koreksi atas angka “subsidi paksa” tersebut di atas.
Oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)