KedaiPena.com – Anggota Komisi XI DPR RI, Achmad Hafisz Thohir mengatakan, naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia yang diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit industri perbankan adalah kondisi yang wajar saja sekalipun di tengah berlebihnya likuiditas.
Pasalnya, kata Hafisz, kenaikan suku bunga acuan merupakan bagian dari upaya untuk menahan pelemahan mata uang rupiah terhadap dollar AS di satu sisi.
“Kalau bunga tidak naik, US Dollar akan semakin kuat terhadap rupiah. Ini merupakan sebagian langkah BI menstabilkan nilai kurs rupiah. Sejalan dengan kenaikan suku bunga BI, maka suku bunga bank pasti ikut naik,” kata Hafisz, ditulis Minggu (22/1/2023).
Kendati demikian, Hafisz tetap menekankan, dibalik kenaikan suku bunga kredit mesti dibarengi dengan instrumen kebijakan yang mampu menstimulus sektor ekonomi lainnya
“Kenaikan suku bunga kredit cuman bisa dikontrol melalui subsidi pemerintah terhadap UMKM khususnya melalui bunga KUR,” sarannya.
Hafisz kembali menegaskan, kebijakan suku bunga acuan juga sebagai salah satu instrumen dalam kerangka menjaga likuiditas.
“Nah salah satu cara mensatbilkan itu menjaga likuiditas tidak keluar (capital flight). Sehingga rupiah tetap stabil (kuat). Kan kita bisa lihat dalam seminggu terakhir rupiah menguat terhadap US Dollar,” urainya.
Hafisz memandang, likuiditas menguat itu memang demand (permintaan) lagi turun karena krisis global.
“Sehingga produksi juga menurun. Kalau produksi menurun berarti kegiatan pabrik dan industri turun. Kalau kegiatan menurun maka likuiditas banyak tidak terpakai (alias likuiditas perbankan over). Sehingga BI harus mengimbangi. Ini asal muasalnya juga karena Federal Reserve Bank Amerika terus manaikkan suku bunga mereka sehingga dollar semakin kuat. Capital banyak balik ke Amerika,” paparnya.
Hafisz juga mengungkapkan, saat ini semua negara mengalami persoalan nilai kurs.
“Kalau kita lihat Inggris cukup parah, Italy lebih parah, Turki sangat parah. Di Eropa yang negara ekonominya sangat kuat saja (Jerman) saat ini alami persoalan cukup berat,” terangnya.
Berbagai kebijakan penyelamatan meski tidak populer sekalipun (termasuk kebijakan menaikkan suku bunga), kata dia, mesti dilakukan di tengah proyeksi lembaga-lembaga keuangan dunia yang memprediksi bahwa perekonomian global dalam kondisi kurang menggembirakan ke depan itu.
“World Bank memprediksikan ekonomi global tumbuh 1,7 persen tahun 2023. Inflasi 10,3 persen pada akhir 2022. Ini menunjukkan belum jelasnya kepastian ekonomi dunia,” pungkasnya.
Diketahui, berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), perbankan menaikkan suku bunga kredit sebesar 21 basis poin (bps). Di tengah kenaikan suku bunga kredit, BI sebelumnya juga menaikkan suku bunga acuan hingga 225 bps. Saat BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps, perbankan merespons dengan menaikkan suku bunga deposito sebesar 108 bps.
Laporan: Muhammad Hafidh