KedaiPena.Com – Tindakan pemerintah melalui aparat kepolisian atau satpol PP merusak sejumlah mural dengan menghapusnya menggunakan cat dan memburu pelukisnya bukan hanya merupakan tindakan anti-demokrasi, tapi juga bisa disebut vandalisme, perbuatan merusak karya seni.
Pendapat ini disampaikan Adhie M Massardi, analis politik dan budayawan yang karyanya Negeri Para Bedebah (2009) dikenal sebagai sajak ikon perlawanan terhadap korupsi.
Menurut Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, mural sudah diakui dan sudah menjadi konvensi internasional sebagai aliran seni (rupa) publik.
Pada mulanya adalah Dr Atl (Gerardo Murillo Cornado), pelukis dan tokoh gerakan revolusi Meksiko yang pada 1906 mengeluarkan manifesto menyerukan pengembangan gerakan seni publik yang monumental di Meksiko. Ia menyebutnya Spanish pintura mural (wall painting).
Mengingat sifatnya sebagai “seni publik”, yaitu karya senirupa dengan media milik publik (dinding, tembok-tembok di jalan umum, atau permukaan permanen lainnya, maka syarat utama mural tidak boleh merusak estetika kawasan sekitarnya.
Selain karakter dan estetika lukisan dan warna harus harmonis dengan alam sekitar, tema lukisan mural juga harus senafas dengan suasana hati masyarakat sekitarnya. Tak heran jika pelukis mural kebanyakan adalah seniman rakyat.
“Maka menjadi pelukis mural memang tidak mudah. Selain harus bisa melukis tema sederhana secara cepat agar mudah dipahami publik, moralitas dan integritas pelukis mural juga harus kuat,” kata Adhie Massardi di Jakarta, Kamis (26/8/2021).
Itu sebabnya selain sering menjadi bagian dari kritik sosial (masyarakat), mural di banyak negara banyak yang berubah menjadi ikon (destinasi) pariwisata. Seperti mural The History of Mexico di National Palace, Mexico City karya Diego Rivera (1929-1935), atau karya Pablo Picasso “Guernica” (1937) yang dilukis di salah satu dinding di kota Basque, Spanyol.
Menurut Adhie yang juga deklarator sekaligus Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), beberapa mural yang menjadi viral di media sosial yang kemudian dihapus aparat dan konon pelukisnya diburu polisi, secara estetika dan tema sudah sesuai dengan standar mural konvensi internasional.
“Karena jika mural tidak sesuai dengan standar moral publik, pasti usianya tidak akan lebih dari sehari, sebab akan dihapus masyarakat. Jika yang menghapus atau yang keberatan akan pesan yang disampaikan mural adalah pemerintah, maka jelas ada ketidaksinkronan antara pemerintah dan masyarakatnya,” jelas Adhie.
Menariknya, justru setelah beberapa mural dihapus aparat dan pelukisnya diburu, lukisan mural bukannya musnah, malah justru bertambah di banyak daerah.
Pelukis mural adalah seniman rakyat. Bila mereka sudah bergerak, artinya hati rakyat sudah bergerak. Ini sudah merupakan gerakan moral spiritual. Maka melawan mural sama juga melawan moral, bahkan moral internasional, karena mural sudah menjadi konvensi dunia.
“Karena itu kalau sudah masuk dalam kategori merusak mural itu bisa disebut sebagai tindakan vandalisme,” sambung dia.
Mural itu aliran kesenian (senirupa) yang sudah jadi konvensi internasional. Maka melawan mural sama dengan melawan moral internasional, dan merusak mural bisa disebut tindakan vandalisme, merusak nilai seni.
“Nah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, vandalisme itu adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni atau barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas,” pungkas Adhie Massardi.
Laporan: Muhammad Lutfi