Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik
Seperti nyanyian vokal grup yang dibuat merdu. Koor perlunya revisi UU ITE setelah dirigen memberikan ketukan. Terdengar nyaring, sahut menyahut pihak politisi dan polisi, setelah sang dirigen Presiden Jokowi memberi tanda untuk musik dan nyanyi di mulai.
Sepertinya Jokowi berlaku seolah menjadi oposan terhadap kekuasaannya sebagai Presiden, atau memang karena indeks demokrasi yang merosot bersamaan merosotnya indeks ekonomi dan indeks korupsi di Indonesia, bakal jeleknya legacy yang akan di tinggalkan kemudian hari.
Awalnya, UU ITE dibuat demi upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. UU ITE juga dihadirkan untuk mengatur internet (cyberlaw). Namun, dalam penerapannya, pasal-pasal karet dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik.
Ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian, menghasut, provokasi dan lain-lain.
Pasal-pasalnya kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri. Menurut data ada 3.100 kasus terkait pasal-pasal dalam UU ITE sepanjang 2019.
Terjadi perluasan penggunaan UU ITE, tidak hanya soal politik dan oposisi. Juga menjerat buruh, aktivis HAM, pejuang lingkungan dan agrarian serta jurnalis.
Jika diselusuri kebanyakan pengadu/pelapor adalah pejabat atau antek atau sering menamakan dirinya sebagai relawan para pejabat.
Setelah silih berganti korban yang dipenjara diseluruh pelosok negeri bahkan ada yang meninggal karena disangkakan dengan UU ITE.
Faktanya korban “pemenjaraan” adalah para oposan dengan suara lantang memberi kritik kepada kinerja sang dirigen melalui medsos Facebook, Twitter dan Instagram.
Fakta lain adalah pelapor kebanyakan adalah para pendukung/relawan sang Dirigen. Fakta berikutnya jika kasus dianggap menyerang pemerintahan langsung diproses, semua tahapan penyelidikan, penetapan tersangka, penahanan bisa sekejap dilaksanakan tanpa jeda seperti kasus Syahganda dan Jumhur Hidayat , Gusnur dan sebagainya.
Sementara Kasus Permadi Arya alias Abu Janda yang mengaku buzzer Istana, proses hukumnya lambat menurut Gerakan Aktivis 77-78 yang bersurat terbuka kepada Kapolri tercatat 6 kasus Pelaporan masyarakat secara resmi kepada Bareskrim tentang Abu Janda namun tidak/belum diproses.
Fakta ketidakadilan proses hukum. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan diproses, sebaliknya pelapor tidak punya power dan terlapor punya power tidak diproses.
Dalam kondisi ini penulis mencoba menganalisa sehingga kesimpulannya adalah bukan hanya sekadar revisi atau hapuskan UU ITE.
Akan tetapi lebih jauh dari itu mengembalikan Polri kepada marwahnya sebagai aparat Negara yang menciptakan rasa aman bagi semua orang, bukan aparat kekuasaan.
Hal ini menyangkut reposisi dan juga sistim pengangkatan Kapolri, sehingga tidak terjebak kepada politik kekuasaan.
Begitu juga sistim komando dan surat edaran Kapolri berpotensi abuse of power atau melanggar UU.
Bagaimanapun penyelidik dan penyidik polisi punya atasan, demikian juga atasannya juga pejabat yang lebih tinggi. Yang akan selalu menyatakan siap jika diperintah atasannya.
Jika ditelpon saja langsung menyatakan; Siap Ndan!, apalagi disertai surat edaran, sudah merupakan perintah wajib dilaksanakan.
Selama ini sering kita dengar pernyataan pemeriksaan dan penahanan adalah wewenang penyidik, hal itu cuma sekadar “berlindung”.
Bagaimanapun penyidik tergantung atasan, begitu juga pada saat gelar perkara, “atasan” lah yang lebih dominan menentukan, karena kelembagaan Polri memang demikian harus loyal kepada atasan.
Nah akan lebih berbahaya jika atasan-atasan tersebut terpengaruh atau terafiliasi dengan kekuasaan politik.
Kasus Habib Rizieq Sihab misalnya yang datang ke Polri untuk diperiksa, bukan ditangkap masih perlu di borgol padahal berada di kantor polisi yang demikan banyak penjaganya.
Begitu juga peragaan borgol ketika jumpa pers polisi terhadap aktivis Dr. Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat dan kawan-kawan, padahal sudah dalam kondisi ditahan.
Menurut hemat penulis hal tersebut bukanlah keinginan penyidik, akan tetapi lebih daripada keinginan kekuasaan dengan tujuan politis memperlihatkan kekuasaan.
Termasuk penembakan mati 6 laskar FPI di KM 50 bukan sekadar keinginan para aparat penyelidik, terkait juga dengan perintah atasan dengan tujuan politis, tidak mendahului, pengadilan yang direkomendasikan oleh Komnas HAM, hanya akan terbatas kepada aparat penembak.
Begitu juga pada saat pengamanan unjuk rasa masyarakat, Polri tidak bisa berkilah jika tidak melakukan kekerasan secara brutal, foto dan video yang beredar di medsos sebagai bukti rekam jejak bahwa terjadi kekerasan.
Dari analisis tersebut untuk menegakan keadilan dan rasa kedamaian bagi rakyat tidak cukup dengan sekedar revisi UU ITE, akan tetapi juga harus reformasi Polri sehingga bisa benar mengayomi, untuk menciptakan rasa aman bagi rakyat.
Semoga tidak ibarat mimpi, selama 6 tahun menjadi dirigen Republik Indonesia, setelah banyak nyanyian sumbang diperdengarkan kemudian tersadar bahwa UU ITE harus di revisi.
Ibarat prank yang sering dilakoni oleh beberapa Youtuber milenial dengan konten, berpura-pura bernyanyi dengan nada rusak.
Setelah itu tiba-tiba merdu sehingga korban prank-nya terkagum dan leleh jiwa. Dan akhirnya tersadar, heh kena prank.
[***]