DATA Indonesia Corruption Watch (ICW) (Desember 2018) 2004-2018 sebanyak 104 kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian data yang lain, periode 2007-2018 sebanyak 247 anggota DPR-DPRD ditangkap KPK.
Eks Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy menjadi anggota DPR ke-248 yang ditangkap KPK. Juga ketua umum partai kelima yang ditangkap karena korupsi.
Ini artinya sistem demokrasi yang kita terapkan tidak benar. Meminjam istilah Dr Rizal Ramli, model demokrasi di indonesia ini adalah demokrasi kriminal. Siapapun politisinya, begitu masuk sistem demokrasi ini, akan terpaksa menjadi seorang kriminal.
Biaya tinggi dalam politik untuk naik jadi anggota DPR, puluhan sampai ratusan miliar untuk naik jadi kepala daerah, membuat para politisi yang sebagian besar bukan orang kaya, bukan pemilik modal, terpaksa untuk minta dimodali, datang ke cukong. Setelah menjabat, tentu para politisi ini terpaksa harus mengembalikan biaya politik tersebut.
Akhirnya dgn alasan itulah terpaksa mereka merampok dari APBN, APBD, BUMN, dan lain-lain. Terjadilah korupsi politik. Meskipun dalam banyak kasus, karena keasyikan, duit rampokan tersebut lebih banyak masuk kantong pribadi si politisi, bukan masuk ke parpol.
Dapat dibuktikan dengan fenomena banyaknya politisi yang kaya mendadak setelah menjadi pejabat tinggi parpol, kepala daerah, maupun DPR-DPRD.
Berapakah besar korupsi politik di Indonesia? Menurut estimasi perhitungan DR Rizal Ramli, besar rampokan mereka selama setahun ini mencapai lebih dari Rp70 triliun rupiah.
Lingkaran setan korupsi politik ini harus diakhiri, demi menyelamatkan uang negara dan demi menjamin masa depan demokrasi kita yang sehat, yang amanah untuk rakyat.
Karena itu, siapapun yang terpilih nanti di Pilpres 17 April 2019, harus melakukan reformasi pembiayaan partai politik. Parpol harus dibiayai sepenuhnya oleh negara. Hal ini seperti yang dilakukan di banyak negara seperti di Eropa, Inggris, New Zealand, Australia, Timur Tengah, dan lain-lain. Kita jangan lagi mencontoh model di AS yang terlalu liberal.
Saat ini dana APBN untuk parpol masih terlalu kecil. Meskipun tahun lalu sudah dinaikkan pemerintah 10 kali lipat. Berdasarkan PP 1/2018, anggaran parpol dinaikkan menjadi Rp 1000/suara, dari sebelumnya Rp 108/suara. Sehingga total dana APBN untuk seluruh parpol kini menjadi Rp 111 miliar.
Ketua KPK Agus Rahardjo sudah setuju dengan ide reformasi pembiayaan partai politik ini. Bahkan ia menyarankan agar parpol setiap tahun dibiayai Rp20 triliun dan harus diaudit BPK. Menurut Agus, bila masih tetap korupsi, atau dana ini diselewengkan, parpol tersebut dihukum dengan didiskualifikasi dari pemilu.
Meskipun untuk perorangan pelaku korupsi politik ini menurut saya juga harus dihukum yang sangat berat. Tidak cukup lagi dengan hukuman pidana biasa. Dalam hal ini saya setuju dengan usulan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang menyatakan, bahwa hukuman yang layak adalah dihukum kerja paksa menggali tambang pasir di pulau terpencil. Atau bisa juga lebih keras seperti usul Dr Rizal Ramli, misalnya dengan dipenjara di pulau malaria di selatan Kalimantan.
Bila nanti parpol kita sudah dibiayai negara, maka parpol-parpol tidak perlu lagi sibuk untuk mencari anggaran, sehingga bisa mencari kader-kader yang bagus tanpa memandang besarnya modal mereka atau kemampuan mereka mendatangkan modal.
Maka nanti anak-anak muda kita yang dari kampus, para aktivis pergerakan, dan tokoh-tokoh yang idealis dapat lebih meramaikan pertarungan pemikiran tentang negara, bangsa, dan rakyat di parpol dan juga parlemen.
Parpol akan lebih amanah, benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyat. Selain itu juga secara gradual oligarki politik yang saat ini berkuasa juga akan lenyap. Sehingga di masa depan demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat dan tidak akan lagi muncul Rommy-Rommy yang lain.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat