Artikel ini ditulis oleh Steph Subanidja, Guru Besar Perbanas Institute.
Kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia masih saja terus terjadi dan semakin menjadi masalah serius. Sebut saja perundungan yang terjadi di berbagai daerah, kekerasan seksual di sekolah, bahkan sekolah berbasis agama, diskriminasi, intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memandang kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di satuan pendidikan ibarat fenomena gunung es. Pada 2023, KPAI menerima laporan pengaduan sebanyak 3.877 kasus dan menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Sepanjang awal 2024 saja, KPAI menerima 141 aduan, dengan 35% di antaranya terjadi di sekolah. Jenis kekerasan yang sering terjadi meliputi kekerasan fisik, bullying, kekerasan seksual, dan tekanan psikis yang dapat menyebabkan trauma hingga kematian
Sejatinya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 telah mengatur kekerasan di Satuan Pendidikan dengan mendefinisikan kekerasan secara jelas, terperinci, dan menghilangkan area abu-abu untuk membedakan bentuk dan cara kekerasan yang tidak boleh terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Kekerasan fisik, misalnya, yaitu tindakan melukai orang lain seperti memukul, menendang, berkelahi, terlibat tawuran dan tindakan menyakiti anggota badan lainnya. Kemudian kekerasan psikis, misalnya menghina, menakuti atau membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Seperti mengejek nama panggilan, mempermalukan, memfitnah orang lain. Kekerasan lainnya, sebagai contoh perundungan/ bullying yaitu menyakiti tubuh dan perasaan orang lain yang dianggap lebih lemah atau berbeda secara berulang kali. Seperti teman atau kakak kelas yang sering meminta uang atau barang secara paksa. Atau guru yang selalu meledek siswa di depan kelas karena tidak bisa menjawab soal.
Tidak sedikit juga bentuk kekerasan seksual terjadi, misalnya perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang, mempertontonkan atau memotret area pribadi tubuh seseorang. Diskriminasi dan intoleransi juga masih terus terjadi, sebagai contoh membedakan, memilih-milih atau membatasi orang lain latar belakang yang berbeda. Seperti suku/etnis, agama, kepercayaan, warna kulit, bentuk rambut, jenis kelamin, kemampuan akademik, mental, fisik dan lainnya. Dan yang tidak kalah mengawatirkan adalah kebijakan yang mengandung kekerasan, misalnya peraturan yang berpotensi atau menimbulkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh guru, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah, kepala sekolah dan atau kepala dinas pendidikan. Lantas apa upaya yang dapat dilakukan untuk mereduksi praktik kekerasan terebut?
Kekerasan di Satuan Pendidikan
Pada dasarnya kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia terjadi karena berbagai faktor. Kekerasan sering dianggap sebagai cara untuk mendisiplinkan atau mengontrol perilaku siswa. Bentuk kekerasan seperti ini masih saja terjadi. Budaya kekerasan di lain pihak juga masih melekat di masyarakat dan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik untuk pencegahan dan penanggulangannya. Melalui pendidikan, kebijakan yang tepat, dan dukungan psikologis, masyarakat dapat bergerak menuju lingkungan yang lebih damai dan harmonis.
Lemahnya pengawasan oleh guru dan staf sekolah terhadap interaksi antar siswa juga menyumbang terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Dengan pengawasan yang memadai, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, aman, dan sehat, serta siap menghadapi tantangan di masa depan. Tidak sedikit terjadi tekanan dari kelompok sebaya yang mendorong perilaku agresif yang berujung pada kekerasan. Anak yang mengalami kekerasan atau tekanan di rumah juga cenderung mengekspresikan frustrasi di sekolah. Minimnya pendidikan tentang pengelolaan emosi dan resolusi konflik sekolah disinyalir menjadikan emosi dan konflik berubah menjadi kekerasan.
Reduksi Praktik Kekerasan
Mereduksi praktik kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak.
Pertama adalah melalui edukasi dan sosialisasi dengan meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif kekerasan melalui program sosialisasi dan pendidikan bagi siswa, guru, dan orang tua. Rasanya program seperti ini, dijalankan dengan setengah hati. Tindakan reaktif lebih banyak kelihatan dilakukan secara sporadis ketimbang tindakan proaktif.
Kedua adalah penguatan regulasi dan kebijakan melalui implementasi tegas regulasi yang sudah ada serta pembentukan kebijakan baru yang lebih efektif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan. Regulasi yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 sudah sangat jelas dan rinci. Oleh karenanya pembentukan satgas anti kekerasan di sekolah menjadi penting untuk menjalankan Peraturan Pemerintah tersebut.
Ketiga adalah pelatihan guru dan tenaga pendidik dengan memberikan pelatihan tentang deteksi dini tanda-tanda kekerasan dan cara menangani kasus secara tepat. Apakah program ini telah berjalan? Rasa-rasanya belum terlihat. Sehingga baik guru maupun tenaga pendidik belum mampu memahami makna praktik kekerasan ini.
Keempat adalah sistem pengaduan yang efektif dengan membuat sistem pengaduan yang mudah diakses oleh siswa untuk melaporkan kekerasan tanpa rasa takut. Apakah guru, tenaga pendidik, dan siswa memahami sistem operasi dan prosedur (SOP) pelaporan kekerasan. Rasa-rasanya banyak sekolah belum memiliki SOP ini.
Kelima adalah pendampingan psikologis melalui penyediaan layanan konseling dan pendampingan psikologis bagi korban kekerasan untuk mengurangi dampak trauma. Unit pendampingan ini menjadi penting untuk ruang diskusi dan deteksi dini adanya gejala praktik kekerasan di satuan pendidikan.
Keenam adalah partisipasi aktif orang tua dengan mendorong keterlibatan orang tua dalam mengawasi dan mendukung anak-anak mereka, baik di sekolah, di luar sekolah, maupun di rumah. Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah dan ketidakmampuan dalam memahami gejala adanya kekerasan tidak mampu memotret gejala praktik kekerasan di lingkungannya.
Ketujuh adalah kolaborasi multi-stakeholder melalui pelibatan pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi non-pemerintah, dan komunitas untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Platform online dapat dimanfaatkan untuk membangun kolaborasi ini.
Sebagai deteksi dini dan peringatan dini atas praktik kekerasan di satuan pendidikan, ada baiknya secara periodik diadakan diskusi dan atau sosialisasi tentang manajemen pengelolaan emosi dan manajemen konflik yang dapat diinisiasi oleh pihak sekolah, orang tua, pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
Dengan upaya terpadu ini, diharapkan praktik kekerasan di satuan pendidikan dapat diminimalkan. Dengan demikian para pihak dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa dan terhindar dari praktik kekerasan.
[***]