Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
“Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak !. Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus. Bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.”
Itu statemen Bung Karno, tentang dasar negara. Ketika rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Sekolah-sekolah masa Orde Baru mengajarkan “kemerdekaan merupakan jembatan emas”. Melalui kemerdekaan itu, perjuangan mewujudkan Indonesia adil makmur berdasar Pancasila, bisa diselenggarakan.
Tanggal 17 Agustus 1945 itu merupakan deklarasi kemerdekaan politik (political independence). Indonesia bebas dari kolonalisasi Eropa. Momentum merupakan permulaan perjuangan melawan penjajahan semesta. Apa itu?
Kita bisa memverifikasinya melalui teks UUD 1945 itu sendiri. Alinea 4 Preambule.
Terbentuknya pemerintahan Indonesia merdeka itu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan itu dicapai melalui jalan Pancasila. Jalan ke-Tuhanan, kemanusiaan, keadilan dan keadaban.
Ketika hak berketuhanan, hak kemanusiaan, hak keadilan dan keadaban belum terlindungi. Itu merupakan penjajahan hak yang harus dilawan. Ketika kesejahteraan rakyat Indonesia belum maju. Itu berarti keterbelakangan. Penjajahan atas keterbelakangan harus dilawan. Ketika bangsa Indonesia belum cerdas, itu berarti penjajahan oleh pembodohan. Harus dilawan. Ketika belum berdaya menjalankan fungsinya dalam turut melaksanaan ketertiban dunia bersadarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Itu berarti penjajahan oleh ketidakberdayaan. Harus dilawan.
Bagaimana wujud perjuangan semesta itu?
Roma Irama, seorang penyanyi-pendakwah, dari sebuah panggung musiknya mengabarkan. Kado HUT Kemerdekaan ke-79 RI adalah terbongkarnya kepalsuan ketersambungan nasab klan Baalwi/Habaib terhadap Rasulullah Muhammad Saw. Bukan soal ketersambunganya yang utama. Melainkan implikasinya. Klaim itu telah digunakan sebagai instrumen kooptasi sosial atas nama agama terhadap segmen ummat yang jumlahnya besar. Merupakan bentuk penjajahan eksistensi kemanusiaan atas nama agama. Banyak rakyat bermodal ketulusan dan etikad baik menjadi korban.
Terbongkarnya kepalsuan itu dikonfirmasi oleh studi kitab nasab (kyai Imad), kajian filologi (Dr. Manachem Ali), kajian genetika (pakar BRIN Dr. Sugeng). Mustahil klan Baalwi tersambung nasab ke Rasulullah dari garis laki-laki. Kajian-kajian ini mendewasakan rakyat Indonesia tentang ajaran-ajaran agama tentang nasab. Menjadi sadar untuk tidak lagi di kooptasi sekelompok orang/klan atas nama klaim nasab keturunan Rosulullah Muhammad Saw.
Prabowo, presiden terpilih juga mengabarkan perjuangannya. Ia tinjau pembangunan 200 rumah apung untuk warga penghuni tidak layak. Di Muara Angke Jakarta Utara. Tergambar kesigapan Prabowo kelak ketika memimpin. Ia gunakan militer untuk mengatasi keterbelakangan-keterbelakangan yang tidak segera diatasi. Kecepatan unit-unit zeni militer bisa dimanfaatkan. Seperti kasus jembatan-jembatan tidak layak di kawasan terisolir. Pembangunan melalui mekanisme konvensional akan memakan waktu lama dan banyak biaya. Kecepatan tentara bisa menerobos itu semua. Sebagaimana program ABRI masuk desa di era Orde baru.
Dahlan Iskan melalui tulisannya, “Bukan Bus”. Menggambarkan tidak ada berita prestasi teknologi yang dihadirkan dalam HUT 79. Sebagaimana terbang perdana pesawat bikinan anak negeri pada HUT ke-50. Berita teknologi justru penggunaan teknologi “Bus-Kereta” buatan RRC. Kendaraan ini melantai di area IKN. Bukan buatan teknologi anak-anak negeri. Masih harus tergantung produk luar.
“Impor beras meroket 165 persen. Jadi 2,2 juta ton di awal 2024. Tahun ini diprediksi, impor besar mencapau 5,17 juta ton”. Kata sebuah berita. Itu setara lapangan pekerjaan senilai 51 Triliun jika dikerjakan bangsa sendiri. Tanda kedaulatan pangan kita masih jauh panggang dari api.
“Tsunami kematian pabrik tekstil RI Nyata, 36 sudah tutup. Produk Cina membanjiri Indonesia”. Juga kata sebuah berita. Tanda kita masih dijajah produk-produk impor. Lapangan kerja rakyat kita disandera oleh produk-produk impor.
Tindak pidana masih tinggi. Pencurian dengan pemberatan, penipuan melalui telepon. Judi online. Belum lagi kasus-kasus korupsi. Masih sangat mengintimidasi rakyat Indonesia.
Kalangan akademisi juga sepi dari laporan kemajuan. Sempat mencuat gairahnya ketika pilpres. Mengkoreksi beragam kelemahan bangsa. Akan tetapi redup seiring pilpres usai. Tidak salah jika diduga partisan belaka.
Kita perlu memperoleh laporan-laporan kemajuan. Pada setiap front perjuangan melawan penjajahan. Pasca era kemerdekaan politik.
Tahun ini rupanya masih sepi laporan kemajuan itu. Mirip keberhasilan sekutu mendaratkan pasukan di Normandia. Akan tetapi lambat dalam menusuk Jerman di Eropa. Untuk segera melepaskan cengkeraman Jerman dalam menjajah Eropa pada PD II.
Indonesia memang berhasil melepaskan diri dari penjajahan fisik. Pada 79 tahun lalu. Tapi belum bisa melepaskan diri dari keterbelakangan, kebodohan dan ketidakberdayaan. Masih harus berjuang keras. Agar banyak laporan keberhasilan menceriakan pada setiap HUT kemerdekaan.
Apalagi ada harapan muncul sebagai kekuatan 4 besar ekonomi dunia. Pada pertengahan abad ini. Peluang itu layak diperjuangkan.
Dirgahayu ke 79 RI!. Semoga semakin maju dan sejahtera. Dalam ridho Allah Swt.
ARS ([email protected]), Jaksel, 17-08-2024
[***]