“Cabang-cabang kehinaan tidak akan berkembang kecuali dari biji ketamakan.”
Demikian salah satu bait sastra-sufistik esoterik pada Kitab Al Hikam dari Syeikh Ibnu Atthaillah As-Sakandari.
Apa gerangan  kehinaan (adz- Zillu) itu?Â
Kehinaan, jika diibaratkan busana, merupakan busana dari para penentang Tuhan dan Rasul-Nya. Sebagaimana definisi yang dikumandangkan Otoritas Langit berikut ini:
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka adalah orang- orang yang ada dalam kehinaan.” (QS. al-Mujaadilah, 20)
Para penentang Tuhan dan Rasul-Nya itu tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang hidup dalam keserbamewahan, dan keberlebihan harta yang terus saja diakumulasi di tengah samudera kemelaratan. Mereka itu pun, disadari atau tidak, mengingkari adanya Hari Akhir (akherat).
Namun meskipun bergelimang harta, tak menjadikan hati mereka piawai dalam bersyukur. Malah membuatnya makin tamak pada segala hal yg belum dimiliki dan dikuasainya.
Mereka itu meskipun berkubang harta, namun karena bak fakir sefakir-fakirnya lantaran dalam hatinya selalu ada keinginan atas sesuatu yang ingin terpenuhi dengan kemaruk, berarti bukanlah orang kaya. Mirip orang-orang yang disinggung Rasulullah dalam hadisnya:Â
“Boleh jadi merasa fakir terkadang menjadikan orang menjadi kufur nikmat.”
Bisa dibayangkan, jika ketamakan  bukan lagi bersifat individual, melainkan ketamakan yang bersifat struktural di negara kita, yang justru sejak awal berdiri memancang tujuan nasionalnya untuk bersama- sama menuju masyarakat adil, makmur, sejahtera, terlindunginya seluruh rakyatnya dan kekayaan yang ada di dalamnya.
Tentu kemiskinan akan semakin meluas, ketimpangan semakin lebar dan dalam, kaum modal selalu mempertahankan keistimewaannya pada akses atas kekuasaan dan pengaturan negara. Sementara kaum miskin jadi bulan-bulanan penggusuran, keadilan sosial ditongsampahkan, hukum dioperasikan sesuai keinginan penguasa yang bersimbiosis dengan pemilik modal untuk menghisap rakyat dan melanggengkan kuasa, dan sederet kebobrokan yang terasakan saat ini, di negeri kita ini.
Sementara itu, lawan dari kehinaan tentu adalah kemuliaan (al-Izzu), yang berasal dari biji rasa syukur. Kemuliaan inilah busananya orang-orang yang beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Sebagaimana rumusan abadi dari Tahta Langit:
“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah SWT, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, namun orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS.al-Munafiqun, 8)
Untuk itu, di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan  Republik Indonesia ke-71 pada hari ini, mari kita, rakyat Indonesia,  mencurahkan pikiran dan tenaga sehebat-hebatnya pada agenda spiritual-kebangsaan kita bersama yang amat urgen, diantaranya, membebaskan tanah air tercinta Nusantara dari belenggu ketamakan struktural di tangan sederet penguasa  bangsa sendiri, pihak asing dan aseng!Â
Mengingat  ketamakan struktural yang dipraktikkan selama ini, telah membuat cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 terus saja melenceng dari rel sejatinya.Â
Agenda ini harus dijalankan bersama-sama  oleh kaum rakyat yang senantiasa berada dalam kemuliaannya, menghadapi penguasa, pengusaha, dan komprador tamak berbusana kehinaan.Â
Demi merebut kembali harapan bagi masa depan anak-anak Nusantara yang  lebih berkeadilan, berkesejahteraan, dan gilang-gemilang, tentunya.
Salam Radikalisasi Pancasila
Nanang Djamaludin, Penggiat di Komunitas Intelektual Aktivis 98 (KIAT 98)