BUKAN sekedar euforia industri kendaraan bermotor listrik, namun sebelum dikembangkan sangat diperlukan sinergitas kebijakan dan indikator kinerja utama antara kementerian dan lembaga yang terkait.
Selama ini, akibat kurangnya sinergitas itu telah menyebabkan permasalahan di hilir, seperti kemacetan, polusi udara, pemborosan energi, tingginya angka kecelakaan, ketidaktertiban berlalu lintas.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai cukup positif untuk menekan polusi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun, kebijakan itu semestinya secara simultan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas, menekan angka kecelakaan, mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Oleh karena itu, insentif pengembangan transportasi umum menggunakan kendaraan bermotor listrik harus diberikan lebih besar ketimbang insentif pengembangan untuk kendaraan pribadi listrik.
Jika benar-benar serius, untuk transportasi umum harus lebih diprioritaskan. Kalau tidak begitu, polusi berkurang, namun kemacetan tak berkurang, hanya berganti moda. Tidak mengurangi mobilitas menggunakan kendaraan pribadi.
Terlebih, tujuan dari menggunakan energi tidak dari fosil bukan hanya mengurangi polusi udara, namun dapat pula mengurangi kemacetan dan menekan angka kecelakaan.
Selain itu, apabila pemerintah juga ingin mendorong pengembangan sepeda listrik, perlu ada pembatasan kecepatan. Kapasitas silinder dibuat kurang dari 100 sentimeter kubik, sehingga akselerasinya tidak secepat sepeda motor yang ada sekarang.
Tujuannya adalah untuk menekan angka kecelakaan, sekaligus mengondisikan pengendara agar menggunakan transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh, sudah tidak memakai sepeda motor lagi.
Kebijakan pemerintah juga harus mencakup aspek penghematan pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Daerah-daerah di Indonesia yang selama ini sulit mendapatkan BBM seharusnya didorong sekalian untuk langsung memanfaatkan listrik sebagai energi penggerak kendaraan di daerah tersebut.
Penggunaan kendaraan elektrik seperti itu sudah dilakukan di Asmat, Papua. Gugusan pulau-pulau kecil atau daerah kepulauan, kawasan pariwisata dapat didorong. Seperti kawasan wisata Pulau Gili Trawangan di Lombok, tidak mengijinkan kendaraan bermotor beroperasi, sepeda listrik boleh dipakai.
Wilayah pulau-pulau kecil, daerah terdepan dan terpencil, didorong pemakaian kendaraan bermotor listrik.
Ibu kota negara baru yang sedang disiapkan di Kalimantan Timur, sejak awal sebaiknya sudah dirancang sebagai kota pejalan kaki dan dilayani sarana transportasi ramah lingkungan. Sarana transportasi umum yang beroperasi menggunakan kendaraan bermotor listrik.
Apabila perlu, di kawasan tertentu dalam lingkungan ibukota negara baru nantinya juga diwajibkan memakai kendaraan bermotor listrik. Selain itu pula wajib menyediakan fasilitas jalur pejalan kaki dan pesepeda.
Kepentingan riset dan pengembangan kendaraan bermotor listrik di berbagai perguruan tinggi dan lembaga terkait hendaknya harus ditumbuhkan. Riset kendaraan elektrik sudah lama dilakukan di banyak perguruan tinggi.
Indonesia bukan sekedar menjadi pasar kendaran bermotor listrik, namun dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada dan sumber daya manusia yang mumpuni, harus bisa memproduksi sendiri kendaraan bermotor listrik.
Indonesia harus berdaulat kendaraan bermotor listrik. Bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, namun bisa diekspor le luar negeri.
Kendaraan Elektrik di Kabupaten Asmat
Selama ini Asmat, Provinsi Papua dikenal sebagai daerah rawan penyakit malaria. Akan tetapi, di Agats ibukota Kabupaten Asmat merupakan daerah yang mengawali pemakaian kendaraan bermotor listrik untuk mobilitas warganya.
Keberadaannya sudah didukung dengan regulasi, yakni Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha dan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2017 tentang Angkutan Darat dan Sungai. Pendapatan dari hasil retribusi yang diterapkan hampir mencapai Rp1 miliar per tahunnya.
Regulasi itu sudah mengatur, seperti retribusi kendaraan bermotor listrik yang disewakan sebesar Rp500 ribu per tahun, retribusi kendaran bermotor listrik pribadi Rp150 ribu per tahun, sewa lahan buat ojek Rp 1 juta per tahun. Setiap kendaraan tidak ada plat tanda nomor kendaraan bermotor. Yang ada plat retribusi parkir berlangganan motor listrik, berwarna hitam dan kuning untuk membedakan kendaraan pribadi atau sewa.
Data Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat, hingga November 2018 tercatat 3.154 kendaraan listrik. Terbanyak sepeda motor listrik 3.067 unit. Terdapat 22 pangkalan ojek sepeda listrik.
Di samping itu, memang lebar jalan hanya 4 meter, sehingga tidak memungkinkan mengggunakan mobil sebagai sarana transportasi, kecuali dalam hal tertentu. Konstruksi jalan di Kota Agats berupa konstruksi jalan beton (pile slab), karena daerahnya merupakan daerah rawa. Awalnya menggunakan konstruksi kayu dan sebagian masih tersisa.
Daerah yang sudah dapat mengoperasikan kendaraan bermotor listrik, seperti Asmat ini, ada baiknya pemerintah pusat memberikan apresiasi berupa bantuan khusus dalam hal pengembangan kendaraan bermotor listrik. Supaya dapat mendorong daerah lain dapat melakukan hal yang sama.
Oleh Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat