SUDAH berjalan satu bulan dari sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada Senin (2/3/2020), berbagai dampaknya muncul ke permukaan. Salah satunya soal kekhawatiran berupa timbulnya risiko sosial ekonomi bagi pekerja berupa kehilangan sebagian atau seluruh pendapatannya atas upah. Penyebabnya, ketidakhadiran bekerja atau terpapar penyakit akibat kerja di saat wabah.
Lalu, adakah hal ini beririsan dengan fungsi Jamsostek? Dan bagaimana pula pelibatan peran penyelenggaranya di saat wabah ini bagi peserta terdampak?
Penyakit Akibat Wabah (JKK)
Dalam konteks penyakit karena wabah, penyelenggara Jamsostek menegaskan tidak akan memberikan jaminan perlindungan atasnya. Dasarnya, Surat Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/Menkes/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.
Di SK Menkes itu disebutkan bahwa segala bentuk pembiayaan dibebankan kepada anggaran Kemenkes, Pemda dan atau sumber dana lain yang sah.
Jika biaya perawatan/pelayanan kesehatan ditanggung, bagaimana pula dengan bantuan biaya santunannya? Mengingat pasiennya, karena diisolasi menyebabkannya berhenti bekerja sementara, sehingga ada risiko hilangnya pendapatan.
Belum lagi fasilitas RS rujukan pun, hanya ada di daerah tertentu dan membutuhkan biaya transportasi untuk mencapainya. Adapula risiko kematian yang menyertainya. Dan bisa berdampak ke putusnya biaya pendidikan anak peserta. Menjadi tanggungankah ini semua di SK Menkes tersebut?
Beda halnya jika dengan program jaminan kecelakaan kerja yang ada. Program JKK bukan hanya menjamin biaya perawatan/pelayanan kesehatan saja. Tapi, juga memberikan dana santunan bagi peserta ataupun ahli warisnya.
Berlandaskan pada pasal 25 ayat 1 dan 2 di PP No 82 Tahun 2020 tentang JKK-JKM berikut penjelasannya, menerangkan soal kecelakaan kerja disebabkan penyakit akibat kerja.
Disebutkan di pasal itu, selain jaminan pelayanan kesehatan, juga terdapat biaya santunan. Adapun bentuk santunannya berupa santunan sementara tidak bekerja, santunan pengganti biaya transportasi ke/dari fasilitas kesehatan, santunan kematian dan pemakaman serta santunan beasiswa untuk ahli waris peserta.
Apakah dimungkinkan penjaminan lewat JKK masih bisa berperan di situasi itu? Jika ada beda pendapat di implementasinya ini, perlu penetapan dari Pengawas Ketenagakerjaan ataupun Menteri Tenaga Kerja untuk menyelesaikannya.
Hal ini, sesuai dengan pasal 23 Permenaker No 26 Tahun 2015 dan pasal 30 Permenaker No 01 Tahun 2016 tentang Tatacara Penyelenggaraan Program JKK, JKM dan JHT, masing-masing untuk Pekerja Penerima Upah dan Bukan Penerima Upah.
Dana Cadangan (JHT)
Sementara di sisi lain, adakah opsi dana alternatif untuk mem-back up potensi hilangnya pendapatan upah buruh karena ketidakhadiran kerja di situasi wabah? Apakah program JHT, bisa menjangkaunya?
PP No 60 Tahun 2015 tentang JHT menegaskan, hanya pihak tertentu yang berhak memanfaatkannya. Di pasal 1, sebagai pasal revisi dari pasal 26 di PP 46 Tahun 2015 disebut bahwa yang berhak adalah peserta yang mencapai usia pensiun termasuk yang berhenti bekerja, peserta yang catat total tetap dan peserta yang meninggal dunia.
Kemanfaatan dana JHT ini diperuntukkan bagi peserta yang telah melunasi iuran (pasal 36 UU No 40 tentang SJSN).
Untuk kemanfaatannya, dana JHT bisa diambil seluruhnya ataupun sebagiannya saja.
Untuk klaim JHT seluruhnya, peserta berhenti dari kepesertaannya karena pasal 1 diatas. Jumlah klaimnya, total dana JHT yang ada. Sedangkan untuk klaim dana JHT sebagian, hanya untuk peserta yang punya masa kepesertaan paling singkat 10 tahun dan hanya dapat dilakukan untuk satu kali selama menjadi peserta.
Maksimal klaimnya 30% dari total nilai dana JHTnya. Dan peruntukkannya juga, bagi kepemilikan rumah. Untuk keperluan lainnya maksimal sebesar 10% sesuai persiapan memasuki masa pensiunnya.
Pemanfaatan dana JHT tidak bisa dilakukan untuk kepentingan lainnya selain hal diatas.
Opsi Pelibatan BP di Saat Wabah
Beralih ke kelembagaannya, bagaimana pelibatan peran BP Jamsostek dalam meminimalisir risiko sosial ekonomi pekerja (peserta) terdampak di wabah Covid-19 ini?
Meski secara kelembagaan, terikat oleh regulasi yang mengaturnya, tapi kepengelolaan atasnya, harus optimal. Ada sebanyak 50-an juta peserta di program Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) ini. Mereka berharap mampu terlindungi dari risiko sosial ekonomi yang mungkin dihadapi.
Untuk ini, ada beberapa aspek yang bisa menjadi opsi kebijakan kelembagaan. Pertama, aspek kelolaan dana publik. Meski bukanlah lembaga keuangan bank, dengan dana kelolaan Rp432 triliun (2019), BPJS Ketenagakerjaan punya cukup daya guna membantu mewujudkan penguatan ekonomi dan bantuan sosial bagi para pesertanya. Walaupun dibatasi regulasi tapi potensi memaksimalkannya masih bisa dilakukan.
Pada aspek investasi contohnya. Di skema penempatan dananya, memungkinkan untuk memberi ruang longgar bagi penambahan modal di industri tertentu misalnya, baik skala kecil, menengah ataupun besar. Untuk soal instrumen dan komposisi investasinya dibekali dulu oleh kajian dan menyesuaikannya ke regulasi PP No 55 Tahun 2015, khususnya di pasal 28 dan pasal 29. PP ini merupakan regulasi panduan atas pengelolaan aset jaminan sosial ketenagakerjaan.
Adapun untuk jenis industrinya, diprioritaskan bagi kegunaan produknya di tengah bencana wabah saat ini. Misalnya, industri konveksi (masker dan hazmat), industri kesehatan dan sanitasi (alkes dan pembersih higienis), industri makanan-minuman serta industri lainnya.
Industri real estate bisa juga dipertimbangkan guna percepatan perputaran di sektor riil nantinya, ketika memasuki upaya pemulihan dari bencana.
Kedua, aspek tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL). Konsepnya, hakikat TJSL, merupakan partisipasi Badan Publik (BPJS Ketenagakerjaan) ini dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang layak.
Berdasarkan Perdir TJSL yang mengaturnya, disebutkan bahwa jumlah dananya, ditetapkan berdasarkan asas kepatutan dengan memperhatikan program dan besaran dana di tahun lalu serta rencana kerja tahun berikutnya. Artinya, ada fleksibilitas di besaran dana programnya di sana.
Sejauh ini, dalam konteks bencana wabah, BP Jamsostek telah memberikan bantuan guna menekan penyebaran Covid-19 lewat pemberian 63.000 masker dan 2.720 botol hand sanitizer. Totalnya mencapai senilai 588 juta, (diwartakan di website BPJS Ketenagakerjaan tertanggal 2 april 2020).
Nilai bantuan tersebut, sejumlah 0,00013% dari total dana kelolaan yang ada ditahun 2019 lalu, yaitu Rp432 triliun. Dan apakah nilai bantuan itu akan bertambah dan terkoreksi ke depannya?
Dana TJSL bisa menjadi penguatan peran bagi Badan Publik ini mestinya, guna memaksimalkan keberadaannya. Perlu diingat, ada tujuan dan prinsip dasar ketika Badan Publik ini didirikan sebagaimana pasal 3 dan pasal 4 UU BPJS No 24 tahun 2011.
Tujuannya, mewujudkan pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi peserta dan/atau anggota keluarganya. Dan penyelenggaraannya berprinsip pada kegotongroyongan, nirlaba dan penggunaan (kelolaan dana) sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Bukan kepentingan lainnya.
Oleh Achmad Ismail, Gerakan Buruh dan Pekerja Badan Usaha Milik Negara (Geber BUMN)